PENDAFTARAN TANAH
Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mandiri mata
kuliah: Hukum Agraria
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perkembangan pesat yang terjadi dalam pembangunan di Indonesia
tidak bisa dilepaskan begitu saja dengan hubungannya akan kepastian pendaftaran
tanah. Karena tanah jelas menjadi aspek utama dan penting dalam pembangunan, dimana
seluruh kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat memerlukan tanah
untuk melakukan kegiatan tersebut.
Pendaftaran tanah untuk pertama kalinya dilakukan untuk tanah-tanah
yang belum didaftarkan atau belum pernah disertifikasikan, hal ini sesuai
dengan ketentuan PP Nomor 10 Tahun 1961 dan PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah. Maka untuk menjamain kepastian hukum, maka mendaftarkan hak
atas tanah merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Hal ini dilakukan guna
menjamin kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah serta pihak lain yang
berkepentingan dengan tanah tersebut. Pendaftaran tanah dilakukan oleh Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berada di wilayah kabupaten/kota.
B.
Rumusan Masalah
Bertitik tolak pada latar belakang diatas, dapat
dijabarkan rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Apa
yang dimaksud tentang pengertian pendaftaran tanah?
2.
Apa
dasar hukum dari pendaftaran tanah?
3.
Apa
saja tujuan dari pendaftaran tanah?
4.
Apa
saja objek dari pendaftaran tanah?
5.
Bagaimana
sistem pendaftaran tanah?
6.
Bagaimana
pelaksanaan pendaftaran tanah dan pendaftaran hak-hak atas tanah?
7.
Apa
yang dimaksud dengan pejabat pembuat akta tanah (PPAT)?
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan dalam
pembahasan makalah ini, berdasarkan rumusan masalah di atas antara lain:
1.
Mengetahui
pengertian pendaftaran tanah.
2.
Mengetahui
dasar hukum pendaftaran tanah.
3.
Mengetahui
tujuan pendaftaran tanah.
4.
Mengetahui
objek pendaftaran tanah.
5.
Mengetahui
sistem pendaftaran tanah.
6.
Mengetahui
pelaksanaan pendaftaran tanah dan pendaftaran hak-hak atas tanah.
7.
Mengetahui
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pendaftaran Tanah[1]
Pendaftaran
berasal dari kata cadastre (inggris), kadaster (belanda), suatu
istilah tehnis untuk suatu rekaman (record), menunjukkan kepada luas,
nilai, dan kepemilikan (atau lain-lain alas hak) terhadap suatu bidang tanah.
Dalam bahasa latin disebut capistrum yang berarti suatu registrasi atau
capita atau unit yang diperbuat untuk pajak tanah Romawi (Capotatio Terrens),
dalam artian yang tegas cadastre adalah record atau rekaman dari
lahan-lahan. Cadastre merupakan alat yang tepat yang memberikan uraian
dan identifikasi dari lahan tersebut dan juga sebagai continents recording
(rekaman yang berkesinambungan) dari hak-hak atas tanah.
Dahulu
pendaftaran tanah disebut “kadaster” yang berasal dari bahasa latin “conpistarium”
yang berarti suatu daftar umum mengenai nilai serta sifat dari benda-benda
tetap. Selain dapat pula dirumuskan sebagai berikut:
1.
Tugas
(fungsi) tertentu yang harus diselenggarakan oleh pemerintah yaitu suatu
pembukuan mengenai pemilikan tanah yang diselenggarakan dengan daftar-daftar
dan peta-peta yang dibuat dengan mempergunakan ilmu ukur tanah.
2.
Badan
(organ) pemerintah yang harus menjalankan tugas tertentu yaitu dengan peta-peta
dan daftar-daftar memberikan uraian tentang semua bidang tanah yang terletak
dalam suatu wilayah negara.
Ada juga kadaster dengan kekuatan bukti yang dengan
peta-peta yang membuktikan batas-batas bidang tanah yang ditetapkan didalamnya
sebagai batas yang sah menurut hukum. Suatu kadaster dikatakan mempunyai
kekuatan bukti yang tetap apabila dipenuhi 2 (dua) syarat, yaitu:
1.
Batas-batas
yang diukur dan dipetakan pada peta-peta kadaster itu adalah batas-batas yang
sebenarnya (penetapan batas berdasarkan kontradiktur deliminasi).
2.
Batas-batas
yang telah diukur dan dipetakan pada peta-peta kadaster harus dapat ditetapkan
kembali di lapangan sesuai dengan keadaannya pada waktu batas-batas itu diukur.
Dalam hukum adat sendiri sebelumnya lembaga pendaftaran tanah ini
tidak dikenal, keberadaan lembaga pendaftaran ini dalam rangka meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat yang sudah berubah situasi dan kebutuhannya.
Hak-hak atas tanah dibukukan dalam buku tanah dan diterbitkan sebagai tanda
bukti pemilikan tanahnya. Pemindahan hak, seperti jual beli, tukar menukar dan
hibah yang telah selesai dilakukan, diikuti dengan pendaftarannya di Kantor
Pertanahan.
Hal itu dimaksudkan untuk memberikan alat bukti yang lebih kuat dan
lebih luas daya pembuktiannya daripada akta PPAT, yang telah membuktikan
terjadinya pemindahan hak yang dilakukan. Disebutkan pula dalam Pasal 1 ayat
(1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang dimaksud dengan pendaftaran
tanah adalah: rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus
menerus, yang berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan, pengolahan,
pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam
bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah satuan rumah susun, termasuk
pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada
haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang
membebaninya. Menurut Pasal 2 pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan asas
sederhana, aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka.[2]
B.
Dasar Hukum Pendaftaran Tanah[3]
UUPA memuat dasar-dasar pokok di bidang agraria yang merupakan
landasan bagi usaha pembaruan hukum agraria guna dapat memberikan jaminan
kepastian hukum bagi masyarakat dalam memanfaatkan fungsi tanah dan hal-hal
yang berkaitan dengan kebutuhan akan tanah. Untuk mencapai tujuan telah diatur
mengenai pendaftaran tanah dalam Pasal 19 ayat (1), yang berbunyi: untuk
menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh
wilayah Indonesia menurut ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah.
Pendaftaran tanah dalam Pasal 19 Undang-undang Pokok Agraria ayat
(1) meliputi: 1. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah; 2. Pendaftaran
hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; 3. Pemberian surat-surat
tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat bukti yang kuat.
Untuk memperoleh kepastian hukum mengenai tanah harus diketahui
dimana letaknya, bagaimana batas-batasnya, berapa luasnya bangunan dan tanaman
apa yang ada diatasnya, status tanahnya, siapa pemegang haknya dan tidak adanya
pihak lain.
Selanjutnya sebagimana dikatahui bahwa pendaftaran tanah yang
diperintahkan Pasal 19 Undang-undang Pokok Agraria adalah untuk menjamin
kepastian hak dan kepastian hukum, yaitu pendaftaran tanah dalam arti
pendaftaran hukum atau recht cadastre atas tanah, sedangkan untuk
peraturan pelaksananya terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah dan mendapat pengaturan secara lengkap dan rinci
dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997, tentang
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah yang selanjutnya disebut Peraturan Menteri 3/1997.
C.
Tujuan Pendaftaran Tanah[4]
Tujuan semula dari pada diadakannya pendaftaran tanah ini adalah
untuk kepentingan pemungutan pajak akan tetapi kemudian ditujukan juga guna
kepastian hak atas tanah. Adanya suatu pendaftaran tanah yang efektif akan
memungkinkan barang siapapun untuk dengan mudah membuktikan haknya atas tanah
yang dimilikinya dan mengetahui hal-hal yang perlu diketahui mengenai tanah
yang dihadapinya.
Dalam praktek sekarang adanya pendaftaran hak atas tanah justru
menimbulkan keadaan yang sebaliknya karena dari berbagai akses yang terjadi
walaupun haknya sudah didaftarkan dirasakan belum adanya kepastian hak atas
tanah karena masih sering terjadinya gugatan dari pihak ketiga yang juga
mendalilkan bahwa ia juga berhak atas tanah yang sama, kejadian yang demikian
sudah sering terjadi dalam praktek pengadilan dan dapat menimbulkan kesan yang
negatif terhadap program pendaftaran tanah itu sendiri. Dan yang lebih parah
lagi adalah timbulnya dua atau lebih sertifikat tanah bukti hak atas tanah yang
sama, sehingga timbul suatu penilaian bahwa pendaftaran hak atas tanah yang
dilaksanakan selama ini tidak menimbulkan kepastian hukum akan tetapi justru
yang timbul adalah kekacauan hukum.
Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
dijelaskan bahwa tujuan dari pendaftaran tanah tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Untuk
memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah
suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar
dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.
b.
Untuk
menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk
pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam
mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah
susun yang sudah terdaftar.
c.
Untuk
terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
D.
Objek Pendaftaran Tanah[5]
Pendaftaran tanah adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk
mendaftarkan bidang-bidang tanah tertentu, sehingga dari definisi diatas dapat
kita ketahui bahwa tanah merupakan objek dari pendaftaran tanah itu sendiri.
Ruang lingkup pendaftaran tanah itu sendiri selalu mengenai tanah dalam
berbagai macam jenisnya, bentuk tanda buktinya, yang didaftar dan juga
penyajiannya dalam bentuk apa. Sehingga keseluruhan dari bentuk tanah tersebut
didaftarkan, sehingga dapat diketahui statusnya.
Sedangkan untuk jenis-jenis bidang tanah yang didaftar adalah
bidang-bidang tanah:
a)
Tanah
hak, yang terdiri dari: Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai
yang diberikan oleh Negara, dan Hak Tanggungan
b)
Tanah
Negara; pendaftarannya dilakukan dengan cara membukukan bidang tanah yang
merupakan tanah Negara dalam bentuk tanah
c)
Tanah
hak pengelolaan
d)
Tanah
wakaf
e)
Hak
milik atas satuan rumah susun.
E.
Sistem Pendaftaran Tanah[6]
Sistem pendaftaran tanah yang digunakan adalah sistem pendaftaran
hak (registration of title) sebagaimana yang digunakan dalam
penyelenggaraan pendaftaran tanah menurut PP 10/1961. Bukan sistem pendaftaran
akta. Hal ini dapat diketahui karena digunakannya buku tanah sebagai dokumen
yang memuat data yuridis dan data fisik yang dihimpun dan disajikan serta
ditertibkannya sertifikat sebagai tanda bukti hak.
Sedangkan dalam pendaftaran hak atas tanah baru, memberikan hipotik
kepada kreditur dan memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain, mempergunakan
sistem dimana yang didaftar adalah perbuatan-perbuatan hukum tersebut atau
disebut juga penyerahan yuridis atau juridis levering. Perbuatan hukum
itu dibuat aktanya oleh notaries/PPAT, inilah yang disebut sistem pendaftaran
akta (registration of deeds).
Sistem publikasi yang digunakan tetap seperti dalam pendaftaran
tanah menurut PP 10/1961. Yaitu sistem negatif yang mengandung unsur positif,
karena akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat, seperti dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (1) huruf c, Pasal
23 ayat (2), Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 38 ayat (2) UUPA. Bukan sistem publikasi
yang murni, sistem publikasi yang murni tidak akan menggunakan sistem
pendaftaran hak.
Juga tidak akan ada pernyataan seperti dalam Pasal-pasal UUPA
tersebut bahwa sertifikat merupakan alat bukti yang kuat. Sebagaimana yang akan
dilihat pada ketentuan-ketentuan yang mengatur prosedur pengumpulan sampai
dengan penyajian data fisik dan data yuridis yang diperlukan serta penertiban
sertifikat dan pemeliharaannya. Biarpun sistem publikasinya negatif tetapi
kegiatan-kegiatan yang bersangkutan dilaksanakan secara seksama, agar data yang
disajikan sejauh mungkin dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.
Hak-hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Undang-undang
Pokok Agraria didaftar dengan membukukannya dalam buku tanah yang memuat
mengenai data yuridis dan data fisik bidang tanah yang bersangkutan sepanjang
ada surat ukurnya dicatat pula pada surat ukur tersebut.
Menurut Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah menentukan bahwa untuk kepentingan pemegang hak yang
bersangkutan, diterbitkan sertifikat sesuai dengan data fisik yang ada dalam
surat ukur dan data yuridis yang telah didaftar dalam buku tanah.
F.
Pelaksanaan Pendaftaran Tanah dan Pendaftaran Hak-Hak Atas Tanah[7]
UUPA dan PP No. 10/1961 telah menetapkan dua kewajiban yang harus
dilaksanakan. Pertama, Kewajiban bagi pemerintah untuk melaksanakan pendaftaran
tanah untuk seluruh wilayah Indonesia. Kewajiban yang dibebaskan kepundak
pemerintah adalah meliputi kegiatan: a) Pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah;
b) Pendaftaran hak atas tanah dan peralihan hak tersebut; dan c) Pemberian
surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Kedua, kewajiban bagi pemegang hak untuk mendaftarkan hak-hak atas tanah
tertentu yang dimilikinya. Menurut Pasal 23, 32, dan 38 hak yang wajib
didaftarkan itu adalah hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan akan
tetapi dengan Peraturan Menteri Agraria No. 1/1977 diperluas pula dengan hak
pakai dan hak pengelolaan.
Dengan pendaftaran tanah maka pemerintah terlebih dahulu harus
mengadakan pengukuran secara menyeluruh kemudian mengadakan pemetaan yang
lengkap dan membukakan tanah yang ada dikawasan Nusantara ini. Bilamana sudah
diadakan pengukuran dan sebagainya tersebut diatas maka barulah dapat diadakan
pendaftaran hak-hak atas tanah dalam artian hak-hak apa saja yang ada diatas
tanah yang telah diukur dan siapa pemegang haknya terhadap suatu kavling tanah
harus dapat ditentukan dengan pasti, untuk keperluan tersebut sudah tentu harus
didahului dengan penelitian seksama terhadap tanah yang bersangkutan kalau
semuanya ini sudah dapat ditegaskan barulah dapat diberikan tanda bukti hak
untuk penegasan bagi pemegang hak tersebut sehingga ia mempunyai suatu
kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah.
Apa yang digambarkan dengan pendaftaran yang dimaksud adalah suatu
“das sollen” dan memang demikianlah idealnya suatu pendaftaran tanah
yang diharapkan dapat memberikan kepastian hukum sebagimana yang dimaksudkan
oleh UUPA. Kemudian dengan pendaftaran hak atas tanah yang sekarang diwajibkan
kepada setiap pemegang hak, ketentuan perundangan yang berlaku sudah mengatur
lebih jauh dan malah sulit untuk dijangkau oleh masyarakat karena penentuan
tersebut kurang memperhatikan realita sosial dalam masyarakat Indonesia.
Pendaftaran hak atas tanah menjadi suatu kewajiban pada masa sekarang memang
masih sulit untuk dilaksanakan mengingat tingkat kesadaran masyarakat yang
masih rendah dan juga kelemahan dari pemerintah yang kadang justru mempersulit
masyarakat yang ingin mendaftarkan tanahnya sendiri baik dari segi biaya mapun
administratif.
Skala prioritas pelaksanaan pembangunan dewasa ini khususnya
pembangunan di bidang pertanahan untuk mengadakan penataan kembali penggunaan
penguasaan dan pemilikan tanah-tanah yang ada di kawasan negara ini harus perlu
diadakan pendaftaran tanah secara menyeluruh dengan memberikan skala prioritas
pada daerah tertentu yang sangat memerlukan guna memberikan kepastian hukum dan
kepastian hak atas tanah bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sehubungan dengan ini maka diperlukan adanya suatu landasan hukum
yang mantap dan terarah untuk mendukung program pendaftaran tanah yang
menyeluruh yang merupakan salah satu kewajiban yang harus oleh pemerintah. Guna
keberhasilan program dimaksud pertama diperlukan adanya suatu rencana yang
matang dan komitmen yang pasti dari pemerintah yang lebih diarahkan pada
pengembangan program dimaksud disamping perlunya perlengkapan sarana baik
berupa sarana fisik, personil, organisatoris, financial dan berbagai peralatan
yang dihasilkan oleh perkembangan ilmu dan teknologi modern yang dapat
memungkinkan terlaksanakannya program-program tanah sebagaimana yang dimaksud.
Ketika belum dapat terlaksananya pendaftaran tanah yang menyeluruh,
maka kepada setiap pemegang hak atas tanah juga perlu diwajibkan untuk
mendaftarkan hak yang dimilikinya. Untuk mana pemerintah harus memberikan
pelayanan yang sebaik-baiknya dengan biaya yang seminimal mungkin agar supaya
masyarakat tidak merasa terlalu sulit untuk melaksanakan kewajiban tersebut dan
mempergunakan biaya yang dapat terjangkau olehnya. Disamping itu harus pula
diperhatikan bahwa dalam rangka pendaftaran hak atas tanah diperlukan adanya
penelitian yang seksama mengenai status hak dan penggunaan tanah yang
bersangkutan dan harus dicegah jangan sampai terjadi berbagai kesalahan
administratif yang dapat merugikan setiap pemegang hak.
Hal terakhir yang sangat perlu diperhatikan untuk keberhasilan
program pendaftaran tanah ini diperlukan sekali adanya suatu kampanye berupa
perlu penyuluhan hukum yang sifatnya terpadu yang dilakukan pihak Badan
Pertanahan Nasional secara mandiri sehingga masyarakat akan mengerti pentingnya
sertifikat Tanah Hak Milik, sehingga perlu dilakukan pendaftaran tanah, dan
dengan berlakunya PP No. 24 Tahun 1997 hendaknya pendaftaran tanah di Indonesia
bukan diutamakan di daerah perkotaan tetapi pendaftaran hendaknya dilakukan di
desa terutama desa tingkat ekonomi lemah, apalagi masyarakat di pedesaan kurang
begitu mengerti bagaimana pendaftaran tanah dan pentingnya pendaftaran tanah
serta perlu juga diharapkan kesadaran hukum bagi pemerintah atau lembaga yang
mengurus pertanahan di Indonesia untuk membantu masyarakat dalam persoalan
pendaftaran tanah ini dengan sebaik-baiknya dengan tidak mempersulit baik dari
segi biaya dan administratif.
G.
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)[8]
Dalam Pasal 1 angka 24 disebut PPAT sebagai Pejabat Umum yang
diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu sebagai yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, yaitu akta pemindahan dan
pembebanan hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, dan akta
pemberian kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan. Pejabat Umum adalah orang
yang diangkat oleh Instansi yang berwenang, dengan tugas melayani masyarakat umum
di bidang atau kegiatan tertentu.
Dalam Pasal 7 ditetapkan, bahwa PPAT diangkat dan diberhentikan
oleh Menteri Negara Agraria/Kepala BPN. Untuk mempermudah rakyat di daerah
terpencil yang tidak ada PPAT dalam melakukan perbuatan hukum mengenai tanah,
dapat ditunjuk PPAT Sementara. Yang dapat ditunjuk sebagai PPAT Sementara itu
adalah Pejabat Pemerintah yang menguasai keadaan daerah yang bersangkutan,
yaitu Kepala Desa.
Dalam Penjelasan Umum dikemukakan, bahwa akta PPAT merupakan salah
satu sumber utama dalam rangka pemeliharaan data pendaftaran tanah. Maka
pokok-pokok tugas PPAT serta cara melaksanakannya diatur dalam PP ini. Adapun
ketentuan umum mengenai jabatan PPAT diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (LNRI 1998-52;
TLN 3746).
Kegiatan PPAT membantu Kepala Kantor Pertanahan dalam melaksanakan
tugas di bidang pendaftaran tanah, khususnya dalam kegiatan pemeliharaan data
pendaftaran, diatur dalam Pasal 37 s/d 40 (pemindahan hak), Pasal 44
(pembebanan hak), Pasal 51 (pembagian hak bersama), dan Pasal 62 (sanksi
administratif jika dalam melaksanakan tugasnya mengabaikan ketentuan-ketentuan
yang berlaku).
Dalam UU 4/1996 (Undang-undang Hak Tanggungan) juga terdapat
ketentuan mengenai kedudukan dan tugas PPAT serta pelaksanaanya. Dalam Pasal 1
ayat (4) UU tersebut untuk pertama kali PPAT ditegaskan statusnya sebagai
Pejabat Umum yang diberi wewenang membuat akta-akta yang disebutkan di atas.
Dinyatakan dalam Penjelasan Umum angka 7 UU tersebut, bahwa akta yang dibuat
oleh PPAT merupakan akta otentik.
Juga dalam UU 16/1985 tentang Rumah Susun terdapat ketentuan
mengenai tugas PPAT sebagai pejabat yang berwenang membuat akta pemindahan Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun dan akta pembebanan Hak Tanggungan atas Hak Milik
Atas Satuan Rumah Susun.
Karena kegiatan pendaftaran tanah merupakan kegiatan Tata Usaha
Negara, maka sebagai Pejabat yang bertugas khusus di bidang pelaksanaan
sebagian kegiatan pendaftaran tanah PPAT adalah Pejabat Tata Usaha Negara.
Ketentuan Pasal 6 ayat (2) bahwa dalam melaksanakan pendaftaran
tanah Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT, menimbulkan salah pengertian
pada sementara PPAT, seakan-akan dia merupakan pembantu dalam arti bawahan
Kepala Kantor Pertanahan. Tugas PPAT membantu Kepala Kantor Pertanahan harus
diartikan dalam rangka pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah yang dalam Pasal
6 ayat (1) ditugaskan kepada Kepala Kantor Pertanahan. Dalam melaksanakan
tugasnya mendaftar Hak Tanggungan dan memelihara data yuridis yang sudah
terkumpul dan disajikan di kantornya, yang disebabkan karena pembebanan dan
pemindahan hak di luar lelang, kecuali dalam hal yang khusus sebagaimana
dimaksudkan dalam Pasal 37 ayat (2), Kepala Kantor Pertanahan mutlak memerlukan
data yang harus disajikan dalam bentuk akta yang hanya boleh dibuat oleh
seorang PPAT. Dalam memutus akan membuat atau menolak membuat akta mengenai
perbuatan hukum yang akan dilakukan di hadapannya, PPAT mempunyai kedudukan
yang mandiri, bukan sebagai pembantu Pejabat lain. Kepala Kantor Pertanahan,
bahkan siapapun, tidak berwenang memberikan perintah kepadanya atau melarangnya
membuat akta. Seorang PPAT bukan hanya berhak, ia bahkan wajib menolaknya,
apabila hal itu akan berakibat melanggar ketentuan yang berlaku, karena
pelaksanaan tugas PPAT sudah ada ketentuannya dalam UU 16/1985, UU 4/1996, PP
24/1997 dan peraturan-peraturan Hukum materiil yang bersangkutan. Dalam
pengertian itulah ketentuan Pasal 6 ayat (2) tersebut harus diartikan.
Dari apa yang diuraikan dalam uraian-uraian di atas dapat
diketahui, bahwa hakikat jabatan PPAT adalah, bahwa:
a.
PPAT
adalah pejabat umum yang diberi tugas dan wewenang khusus memberikan pelayanan
kepada masyarakat berupa pembuatan akta yang membuktikan, bahwa telah dilakukan
di hadapannya perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah, Hak Milik atas Satuan Rumah
Susun atau pemberian Hak Tanggungan atas tanah.
b.
Akta
yang dibuatnya adalah akta otentik, yang hanya dialah yang berhak membuatnya.
c.
PPAT
adalah Pejabat Tata Usaha Negara, karena tugasnya di bidang penyelenggaraan
pendaftaran tanah yang merupakan kegiatan di bidang Eksekutif/Tata Usaha Negara.
d.
Akta
PPAT bukan surat keputusan Pejabat Tata Usaha Negara, karena akta adalah relaas,
yaitu suatu laporan tertulis dari pembuat akta berupa pernyataan mengenai telah
dilakukannya oleh pihak-pihak tertentu suatu perbuatan hukum di hadapannya pada
suatu waktu yang disebut dalam akta yang bersangkutan.
e.
Yang
merupakan Keputusan PPAT sebagai Pejabat Tata Usaha Negara adalah keputusan
menolak atau mengabulkan permohonan pihak-pihak yang datang kepadanya untuk
dibuatkan di hadapannya. Memberi keputusan menolak atau mengabulkan permohonan
tersebut merupakan kewajiban PPAT. Dalam hal syaratnya dipenuhi wajib ia
mengabulkan permohonannya. Sebaliknya dalam hal ada syarat yang tidak dipenuhi
ia wajib menolaknya.
BAB III
KESIMPULAN
Dari keseluruhan penjelasan diatas kita dapat menarik beberapa kesimpulan
yaitu:
1.
Pendaftaran
tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus
menerus, yang berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan, pengolahan,
pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam
bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah satuan rumah susun,
termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah
ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang
membebaninya.
2.
Dasar
hukum pendaftaran tanah diatur dalam Pasal 19 Undang-undang Pokok Agraria,
sedangkan untuk peraturan pelaksananya terdapat dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan mendapat pengaturan secara
lengkap dan rinci dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3
Tahun 1997, tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah yang selanjutnya disebut Peraturan Menteri
3/1997.
3.
Tujuan
pendaftaran tanah dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
dijelaskan bahwa tujuan dari pendaftaran tanah adalah sebagai berikut:
a.
Untuk
memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas
tanah suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar
agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang
bersangkutan.
b.
Untuk
menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk
pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam
mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah
susun yang sudah terdaftar.
c.
Untuk
terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
4.
Objek
pendaftaran tanah adalah tanah. Sedangkan untuk jenis-jenis bidang tanah yang
didaftar adalah bidang-bidang tanah:
a.
Tanah
hak, yang terdiri dari: Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai
yang diberikan oleh Negara, dan Hak Tanggungan
b.
Tanah
Negara; pendaftarannya dilakukan dengan cara membukukan bidang tanah yang
merupakan tanah Negara dalam bentuk tanah
c.
Tanah
hak pengelolaan
d.
Tanah
wakaf
e.
Hak
milik atas satuan rumah susun.
5.
Sistem
pendaftaran tanah yang digunakan adalah sistem pendaftaran hak (registration
of title) sebagaimana yang digunakan dalam penyelenggaraan pendaftaran
tanah menurut PP 10/1961.
6.
UUPA
dan PP No. 10/1961 telah menetapkan dua kewajiban yang harus dilaksanakan.
Pertama, Kewajiban bagi pemerintah untuk melaksanakan pendaftaran tanah untuk
seluruh wilayah Indonesia. Kedua, kewajiban bagi pemegang hak untuk
mendaftarkan hak-hak atas tanah tertentu yang dimilikinya.
7.
PPAT
adalah pejabat umum yang diberi tugas dan wewenang khusus memberikan pelayanan
kepada masyarakat berupa pembuatan akta yang membuktikan, bahwa telah dilakukan
di hadapannya perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah, Hak Milik atas Satuan
Rumah Susun atau pemberian Hak Tanggungan atas tanah.
DAFTAR PUSTAKA
Harsono, Boedi. 2008. Hukum Agraria
Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Limbong, Bernhard. 2014. Politik
Pertanahan. Jakarta : Margaretha Pustaka.
UU Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.
[1]
Limbong, Bernhard. 2014. Politik Pertanahan. Jakarta : Margaretha
Pustaka, hlm 392-393.
[2]
Harsono, Boedi. 2008. Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Djambatan, hlm 471.
[3]
Limbong, Bernhard. 2014. Politik Pertanahan. Jakarta : Margaretha
Pustaka, hlm 393-394.
[4]
Limbong, Bernhard. 2014. Politik Pertanahan. Jakarta : Margaretha
Pustaka, hlm 394-395.
[5]
Limbong, Bernhard. 2014. Politik Pertanahan. Jakarta : Margaretha
Pustaka, hlm 395-396.
[6]
Limbong, Bernhard. 2014. Politik Pertanahan. Jakarta : Margaretha
Pustaka, hlm 396-397.
[7]
Limbong, Bernhard. 2014. Politik Pertanahan. Jakarta : Margaretha
Pustaka, hlm 398-340.
[8]
Harsono, Boedi. 2008. Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Djambatan, hlm 483-486.