Rabu, 26 April 2017

Perlindungan Hukum Bagi Pemilik Tanah yang Tanahnya Dipakai untuk Kepentingan Umum

Perlindungan Hukum Bagi Pemilik Tanah yang Tanahnya Dipakai untuk Kepentingan Umum
Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur mata kuliah: Hukum Agraria
by Mira Hermawati
 



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Setiap individu mempunyai hak dan kewajiban yang sama yang dlindungi oleh hukum, baik oleh hukum tertulis maupun hukum yang tidak tertulis. Hak-hak individu tersebut selalu melekat pada masing-masing individu dan wajib dilindungi oleh hukum dan dihormati oleh semua pihak, baik oleh pihak pemerintah maupun oleh pihak lain seperti badan hukum swasta, individu, dan masyarakat.
Hak-hak individu dan masyarakat diatur dengan jelas di dalam Pasal 27 dan 28 UUD 1945, untuk itu wajib dilindungi diatur dan dilindungi oleh hukum. Terutama sekali hak milik, khusus hak milik atas tanah. Hak milik atas tanah menurut UUPA adalah hak yang turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dimiliki oleh seseorang atas tanah dengan memperhatikan prinsip fungsi sosial. Artinya bahwa hak milik atas tanah itu adalah hak yang selalu melekat pada setiap subyek hak yang turun temurun yang dapat diwariskan secara terus menerus sampai kapanpun, dan merupakan hak yang paling kuat dan di dalamnya dapat dibebani dengan hak-hak atas tanah lainnya, namun harus mengutamakan kepentingan umum. Demikian pula hak-hak atas tanah lainnya yang dikuasai oleh subyek hukum wajib dihormati dan dihargai oleh siapapun. Oleh karena itu apapun perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemerintah untuk kepentingan umum wajib menghormati hak-hak individu.
Untuk mendapatkan tanah guna membangun sarana kepentingan umum ini, pemerintah dapat melakukan dengan dua cara, yaitu melakukan pembebasan hak atas tanah melalui pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan melakukan pencabutan hak atas tanah. Kedua cara ini mempunyai tatacara dan prosedur yang hampir sama, tetapi kedua cara ini dilakukan dalam kondisi yang berbeda, namun kedua-duanya sama-sama memutuskan hubungan hukum antara pemegang hak dengan tanahnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami perlindungan hukum hak-hak individu dan kelompok dalam pengadaan tanah untuk sarana pembangunan kepentingan umum berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012; dan untuk mengetahui dan memahami persamaan dan perbedaan prinsip dalam proses pengadaan tanah untuk sarana pembangunan kepentingan umum menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012.
Konsepsi perlindungan hukum adalah sebagai berikut: Satjipto Rahardjo, mengatakan “perlidungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan hukum.” Adnan Buyung Nasution mengatakan:” perlindungan hukum adalah melindugi hak dan martabat manusia dari pemerkosaan yang pada dasarnya serangan hak pada orang lain telah melanggar aturan norma hukum dan Undang-undang.” Philipus M. Hadjon membedakan dalam dua macam, yaitu sebagai berikut:
1.      Perlindungan hukum preventif adalah perlindungan hukum di mana rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum sesuatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Dengan demikian perlindungan hukum preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa.
2.      Perlindungan hukum represif, yaitu upaya perlindungan hukum yang peradilan administrasi negara. Perlindungan hukum represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.”
Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Pasal 1 angka (2) disebutkan bahwa Pengadaan Tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak. Pengadaan tanah dilakukan dengan cara musyawarah dan mufakat antara instansi yang membutuhkan tanah tersebut dengan pemegang haknya. Penyelenggaraan Pengadaan Tanah memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dilaksanakan dengan pemberian Ganti Kerugian yang layak dan adil.

B.     Rumusan Masalah
Bertitik tolak pada latar belakang diatas, dapat dijabarkan rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian tanah untuk kepentingan umum?
2.      Apa dasar hukum tentang kepentingan umum?
3.      Apa yang dimaksud dengan kompensasi yang adil?
4.      Apa saja jaminan hukum terhadap pemegang hak atas tanah dalam pelaksanaan UU No 12 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum?

C.    Tujuan Penulisan
Tujuan dalam pembahasan makalah ini, berdasarkan rumusan masalah di atas antara lain :
1.      Mengetahui pengertian tanah untuk kepentingan umum.
2.      Mengetahui dasar hukum tentang kepentingan umum.
3.      Mengetahui tentang kompensasi yang adil.
4.      Mengetahui jaminan hukum terhadap pemegang hak atas tanah dalam pelaksanaan UU No 12 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Tanah Untuk Kepentingan Umum
Konstitusi kita memberikan jaminan bahwa tanah merupakan hak dasar atas setiap orang. Jaminan tersebut dipertegas dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya).
Dalam kenyataannya, tanah memiliki arti yang sangat vital bagi kehidupan manusia, jika dilihat dari fungsinya, tanah merupakan social asset sekaligus capital asset. Tanah sebagai social asset merupakan sarana pengikat kesatuan sosial di kalangan masyarakat untuk hidup dan kehidupan. Sementara sebagai capital asset, tanah merupakan faktor modal dalam pembangunan dan telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting sekaligus sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi.
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia Kepentingan Umum berasal dari dua kata, yaitu kepentingan yang berasal dari kata penting yang artinya sangat perlu, sangat utama, diutamakan, sedangkan kata umum diartikan keseluruhan untuk siapa saja, khalayak manusia, masyarakat luas dan lazim.
Pakar Roscou Pound mengemukakan pendapat bahwa kepentingan masyarakat (sosial interst) adalah suatu kepentingan yang tumbuh di masyarakat menurut kepentingan di dalam masyarakat itu sendiri.
Jan Gijssel berpendapat bahwa kepentingan umum tidak mudah dirumuskan, karena kepentingan umum itu merupakan pengertian yang kabur sehingga tidak mudah diinstutisionalkan kedalam suatu norma hukum, yang apabila dipaksakan akibatnya akan menjadi norma kabur. Hal senada pun diungkapkan JJH Bruggink yang menyatakan bahwa kepentingan umum sebagai salah satu pengertian yang kabur artinya setiap pengertian yang isinya tidak dapat ditetapkan secara tepat, sehinggap lingkup Pengadilan Negeri tidak jelas.
Satu pandangan menurut Benhard Limbong, bahwa suatu kepentingan umum dapat berlaku sepanjang kepentingan tersebut tidak bertentangan dengan hukum positif maupun hukum yang tumbuh, hidup, dan berkembang dalam masyarakat yang penerapannya bersifat kasuitis.
Tanah merupakan anugerah Tuhan dan menjadi sumber daya alam yang strategis bagi bangsa, negara, dan rakyat. Dengan demikian, tanah dapat dijadikan sarana untuk mencapai kesejahteraan hidup bangsa. Gagasaan tersebut telah menjad amanat konstitusional sebagaimana termaksud dalam Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa: Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dalam pasal tersebut terkandung makna pemberian kekuasaan pada negara untuk mengatur sumber daya alam yang terkandung di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang peruntukkan bagi kesejahteraan segenap rakyat Indonesia. Dalam pasal itu pulalah muncul konsep dasar hak menguasai tanah oleh negara. Konsep tersebut pun dijabarkan secara jelas dalam Pasal 2 UUPA. Disana disebutkan kewenangan negara yang mencakup antara lain;
a.       Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa,
b.      Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa,
c.       Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.
Saat ini, kebutuhan tanah sebagai capital asset semakin meningkat sehubungan dengan semakin intensifnya kegiatan pembangunan terutama pembangunan di bidang fisik baik di kota maupun di desa tentu saja banyak memerlukan tanah sebagai tempat penampungan kegiatan pembanguanan tersebut. Kebutuhan akan tersedianya tanah untuk keperluan pembangunan tersebut memberi peluang terjadinya pengambilalihan tanah untuk berbagai proyek, baik untuk kepentingan negara/kepentingan umum maupun untuk kepentingan bisnis, dalam skala besar maupun kecil. Mengingat tanah negara yang tersedia sudah tidak memadai lagi jumlahnya, maka untuk mendukung berbagai kepentingan tersebut di atas yang menjadi objeknya adalah tanah-tanah hak, baik yang dipunyai oleh perseorangan, badan hukum, maupun masyarakat adat.
Namun permasalahan muncul berkenaan dengan ketersediaan tanah untuk pembangunan. Benturan kepentingan terjadi manakala di satu sisi pembangunan sangat memerlukan tanah sebagai sarana utamanya, sedangkan di sisi lain sebagian besar dari warga masyarakat juga memerlukan tanah sebagai tempat pemukiman dan tempat mata pencahariannya. Situasi paradox pun terhindarkan. Paradoksnya adalah bahwa manakala tanah teersebut diambil begitu saja dan dipergunakan untuk keperluan pembangunan, maka jelas hak asasi warga masyarakat dikorbankan padahal kita menganut prinsip rule of law yang menjamin perlindungan hak asasi manusia. Sebaliknya, manakala kita menjunjung prinsip rule of law, tentu saja usaha-usaha pembangunan akan terhambat.
Untuk itu, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan agar pembangunan tetap dapat terpelihara, khususnya pembangunan berbagai fasilitas untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah. Kebijakan hukum dari pemerintah untuk memperoleh tanah-tanah tersebut terlaksana melalui pengadaan tanah.
B.     Dasar Hukum Kepentingan Umum
Saat ini, pengaturan mengenai tanah untuk kepentingan umum diatur dalam UU no 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Kepentingan Umum. UU ini merupakan peraturan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 18 UUPA. Dalam konsideran UU tersebut dinyatakan bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera pemerintah perlu melaksanakan pembangunan. Selanjutnya, untuk menjamin terselenggaranya pembangunan untuk kepetingan umum, diperlukan tanah yang pengadaannya dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan, demokratis dan adil.

C.    Kompensasi yang Adil
Ganti rugi dibatasi sebagai penggantian terhadap kerugian, baik bersifat fisik dan/atau nonfisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah.
Istilah ganti rugi tersebut dimaksud adalah pemberian ganti atas kerugiaan yang diderita oleh pemegang hak atas tanah atas beralihnya haknya tersebut. Masalah ganti kerugian menjadi kompenen yang paling sensitif dalam proses pengadaan tanah. Pembebasan dari bentuk dan besarnya ganti kerugian sering kali menjadi proses yang panjang, dan berlarut-larut (time consunning) akibat tidak adanya kesepakatan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Sementara itu, dalam bidang keperdataan, ganti rugi ditandai sebagai pemberian prestasi yang setimpal akibat dari satu perbuatan yang menyebabkan kerugian diderita oleh salah satu pihak yang melakukan kesepakatan/konsensus. Singkatnya ganti rugi adalah pengennaan ganti sebagai akibat adanya pengunaan hak dari satu pihak untuk pemenuhan kebutuhan dan kepentingan dari lain.
Bentuk ganti kerugian yang ditawarkan seharusnya tidak hanya ganti kerugian bentuk fisik yang hilang, tetapi juga menghitung ganti kerugian non fisik seperti pemulihan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang dipindahkan kelokasi yang baru. Sepatutnya pemberi ganti kerugian tersebut harus tidak membawa dampak kerugian kepada pemegang hak atas tanah yang kehilangan haknya tersebut melainkan membawa dampak pada tingkat kehidupan yang lebih baik atau minimal sama pada waktu sebelum terjadinya kegiatan pembangunan.
Adapun dalam Perpres No 36 Tahun 2005 Pasal 12 mengatur masalah ganti rugi diberikan untuk : Hak atas tanah, bangunan, tanaman, benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah. Pasal 13 ayat 1 menerangkan tentang pemberian bentuk ganti rugi tersebut dapat berupa uang, tanah pengganti, pemukiman kembali. Sedangkan dalam ayat 2, mengenai penggantian kerugian apabila pemegang hak atas tanah tidak menghendaki bentuk ganti kerugian sebagaimana disebutkan dalam ayat 1 maka bentuk keruginnya diberikan dalam bentuk kompensasi berupa penyertaan modal (saham).
Untuk penggantian terhadap tanah ulayat yang dikuasai dengan hak ulayat dan terkena pembangunan maka ganti kerugiannya diberikan dalam bentuk fasiitas umum atau bentuk lain yang bermanfaat bagi masyarakat setempat. Dapat disimpulkan bahwa ganti rugi yang diberikan oleh instansi Pemerintah hanya diberikan kepada faktor fisik semata. Namun demikian, seharusnya patut pula dipertimbangkan tentang adanya ganti rugi faktor-faktor non fisik (immaterial).
Dalam pengadaan tanah, kompensasi didefinisikan sebagai pengganti atas faktor fisik (material) dan non fisik (immaterial). Bentuk dan besarnya kompensasi haruslah sedemikian rupa hingga masyarakat yang terkena dampak kegiatan pembangunan tidak mengalami kemunduran dalam bidang sosial maupun pada tingkat ekonominya.
Kompensasi dalam rangka pengadaan tanah dibedakan atas: kompensasi atas faktor fisik (materiil) meliputi penggantian atas: Tanah yang baik yang bersertifikat dan yang belum bersertifikat, tanah ulayat, tanah wakaf, tanah yang dikuasai tanpa alas hak yang dengan atau tanpa ijin pemilik tanah, bangunan, tanaman, benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah. Kompensasi atas faktor non fisik (immaterial) yaitu penggantian atas kehilangan, keuntungan, kenikmatan, manfaat atau kepentingan yang sebelumnya diperoleh oleh masyarakat yang terkena pembangunan sebagai akibat kegiatan pembangunan tersebut.
Dalam hal ini ganti kerugian hanya diberikan kepada orang-orang yang hak atas tanahnya terkena proyek pembangunan. Pada kenyatannya, masyarakat disekitar proyek tersebut juga terkena dampak, baik yang positif maupun negative, seperti kehilangan akses hutan, sungai sumber mata pencaharian lainnya. Bentuk ganti kerugian komunal harus diperhatikan berdasarkan hukum adat komunikasi setempat. Inventarisasi asset saja tidak mencukupi dan diusulkan untuk terlebih dahulu melakukan survey sosial ekonomi yang menyeluruh sebelum pembebasan tanah  dilakukan. Perlu juga dikembangkan bentuk ganti kerugian dalam pola kemitraan jangka panjang yang saling mengutungkan antara pemilik modal (swasta) atau pemerintah dengan masyarakat pemilik hak atas tanah.
Pada pengaturan sekarang hanya ditentukan penggantian kerugian terbatas bagi masyarakat pemilik tanah atau penggarap tanah, berarti ahli warisan. Ketentuan ini tanpa memberikan perlindungan terhadap warga masyarakat yang bukan pemilik, seperti penyewa atau orang yang mengerjakan tanah, yang mrnguasai dan menepati serta untuk kepentingan umum, masyarakat kontribusi dari pembangunan itu, serta rekognisi sebagai ganti pendapatan, pemanfaatan dan penguasaan hak ulayat mereka yang telah digunakan untuk pembangunan.
a.       Istilah ganti rugi
Ganti rugi itu cenderung berarti bahwa paradigma bahwa pemilik hak atas tanah itu sudah mengalami kerugian sebelum pelepasan tanahnya untuk kepentingan umum, berbeda dengan kompensasi. Dalam kompensasi, proyek pengadaan tanah itu tidak identik dengan proses pemiskinan masyarakat. Istilah yang tepat untuk digunakan adalah kompensasi.
Berbeda dengan istilah ganti rugi yang berasumsi ada pihak yang rugi, kompensasi pada dasarnya memiliki posisi yang setara. Bahkan nilai kompensasi menjadi lebih tinggi karena ada perhitungan aspek nonfisik yang dirasakan oleh pemilik hak atas tanah pada saat melepaskan tanahnya. Karena itu alasanya mengapa lebih dipakai istilah kompensasi dari pada ganti rugi adalah bahwa supaya negara menghitung nilai tanah dan aspek lainnya yang berhubungan dengan tanah yang dilepaskan untuk kepentingan umum, termasuk aspek nonfisik.
Bentuk ganti rugi dalam pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum mencakup dua aspek, yaitu aspek fisik dan aspek nonfisik. Asspek fisik cenderung bermakna bentuk ganti rugi yang bersifat ekonomis, terutama terkait tanah dan benda-benda yang ada diatas tanah, seperti rumah/bangunan dan tanaman.Sedangkan, aspek ganti rugi non fisik mencakup hal-hal yang bersifat sosiologis dan filosofis.
b.      Aspek-Aspek Kompensasi
Pada perinsipnya perhitungan kompensasi yang layak harus memperhatikan tiga aspek penting berkut, yakni aspek ekonomi,aspek sosiologis dan aspek filosofis.
1)      Aspek Ekonomis
Peraturan perundang-undangan terkait pengaduan tanah untuk kepentingan umum di Indonesia menyebutkan bahwa dasar perhitungan nilai ganti rugi tanah berdasarkan NJOP. Sebuah penaksiran yang berdasarkan NJOP, sudah dengan sendirinya mengurangi nilai tanah ada obyek-obyek tertentu, karena itu peran penilai harga tanah sangat menentukan nilai ekonomis tanah yang layak dengan spirit tidak merugikan rakyat pemilik hak atas tanah.
Dalam berbagai ketentuan mengenai bentuk ganti rugi tentang pengaduan tanah untuk kepentingan umum di Indonesia, pemilik hak atas tanah mengalami kerugian secara ekonomis, hal ini dapat dilihat dalam tiga peraturan hak keppres No 55/1993 maupun perpres No.36/2005 dan No.65/2006, ketiga peraturan ini menyebutkan bahwa bentuk ganti kerugian meliputi
-          Uang
-          Tanah pengganti
-          Pemukiman kembali
-          Gabungan dari uang dan tanah pengganti serta pemukiman kembali
-          Bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan
-          Penyertaan modal (saham) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Mengenai kerugian secara ekonomis dipertegas lagi oleh RUU tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, dalam RUU ini, dijabarkan bahwa untuk ganti rugi dapat berupa
-          Uang, dan/atau
-          Tanah pengganti, dan/atau
-          Pemukiman kembali dan
-          Penyertaan modal (saham) sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Mengenai bentuk kompensasi ini juga diatur dalam kebijakan internasional, yang termaktub dalam World commission on Dams (WCD) dalam perspektif Internasional, bentuk kompensasi yang diberikan dalam rangka pengadaan tanah meliputi
-          Kompensasi moneter bagi asetyang hilang dan kehilangan akses ke sumberdaya, dan
-          Kompensasi nonmoneter atau kompensasi berupa pembagian keuntungan keuangan
Bentuk kompensasi lebih lanjut dijabarkan oleh vincent roquet dan carine durocher, mereka menganjurkan 4 (empat) bentuk kompensasi pada umumnya.
Petama kompensasi moneter atas aset yang hilang dan kehilangan akses terhadap sumberdaya, kompensasi ini dibayarkan sesuai dengan nilai pasar untuk aset yang hilang dan/atau kehilangan akses ke sumber daya.
Kedua, perbaikan dan peningkatan mata pencaharian, jenis kompensasi ini meliputi
-          Promosi kerja pertania berkelanjutan untuk pekerjaan irigasi, pengeringan tanah, budidaya di daerah penarikan dan keuntungan lain dari pengelolaan banjir dan / atau jasa penyuluhan pertanian dan
-          Promosi pekerjaan nonpertanian berkelanjutan yang berbasis lokal, seperti pekerjaan jenis kompensasi ini  konstruksi dan operasi, pekerjaan jasa dan industri, serta pelatihan keterampilan.
Ketiga, pengembangan masyarakat, jenis kompensasi ini terkait dengan pemukiman kembali kompensasi ini meliputi:
-          Akses kelayanan dasar
-          Akses kelayanan keuangan
-          Penyedian air untuk rumah tangga,jalan dan transportasi umum dan agama
-          Akses sumber daya umum
Keempat, pembangunan daerah tagkapan air, jenis kompensasi ini meliputi
-          Pengelolaan sumber daya DAS
-          Penghutanan kembali
-          Peningkatan sumber daya lingkungan
Dalam keppres No.55/1993 ini disebutkan bahwa dasar dan perhitungan ganti kerugian ditetapkan atas dasar:
-          Harga tanah yang didasarkan atas nilai nyata atau sebenarnya dengan memperhatikan NJOP bumi dan bangunan yang terkait untuk tanah yang bersangkutan
-          Nilai jual bangunan yang dtaksir oleh instansi pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang pertanian dan
-          Nlai jual tanaman yang ditaksir oleh instansi pemerintah daerah yang bertanggung jaab di bidang pertanian.
Perpres No.36/2005 juga menyebutkan bahwa dasar perhitungan ganti kerugian ditentukan oleh
-          NJOP atau nilai nyata/ sebenarnya dengan memperhatikan NJOP tahun berjalan berdasarkan penetapan lembaga/ tim penilai harga tanah yang ditunjuk oleh panitia.
-          Niai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang bangunan dan
-          Nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang pertanian.
Perpres  No. 65/2006 dalam perpres ini disebutkan dasar perhitungan nilai ganti rugi meliputi:
-          NJOP atau nilai nyata/ sebenarnya dengan memperhatikan NJOP tahun berjalan berdasarkan penetapan lembaga/ tim penilai harga tanah yang ditunjuk oleh panitia.
-          Niai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang bangunan dan
-          Nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang pertanian.
Di vietnam dasar perhitungan nilai ganti rugi ini  diatur secara terinci sebagaimana diuraikan berikut ini :
-          Nilai tanah harus dekat dengan harga pasar untuk pengmbilan hak pakai tanah dalam kondisi normal. Jika ada perbedaan besar dibandingkan harga pasar sebenarnya, maka harus disesuaikan untuk kesusuaian atau keselarasan.
-          Harga yang di hitung disesuaikan dengan kondisi alam,ekonomi,sosial dan infrastruktur pada saat pengambilan tanah, harga juga harus memperhitungkan tujuan pemakaian lahan antara tujuan saat itu dengan tujuan pemakaian lahan tersebut di masa mendatang berdasarkan perencanaahn pemerintah.
Menurut literatur, dalam beberapa yurisdiksi, kompensasi harus mencakup, nilai tujuan (nilai pasar) dari pengambilalihan kepemilikan, depresiasi dari nilai harta tetap (kerugian afeksi atau pesangon), dan kerusakan lainnya (misalnya hilangnya keuntungan) dan biaya (misalnya biaya profesional) yang akan melemahkan situasi keuangan pemilik atau pengguna. Jadi, rumus perhitungan kompensasi yang ideal adalah sebagai berikut:
TC = (V+S+D)+C
(dengan TC = total kompensasi (total compensation), V = kompensasi untuk hak milik (property), S = kompensasi atas kerusakan karena kehilangan kasih sayang atau kenikmatan ditempat yang lama (compensation for damage due to injurious affection of severance), D = kompensasi terhadap kerugian lainnya (compensation for other damages), dan C = kompensasi biaya / pembayaran tambahan (compensation for costs / additional payments)).
2)      Aspek Sosiologis
Salah satu kelemahan prinsip dalam regulasi tentang pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum di Indonesia adalah bentuk ganti rugi yang tidak memperhitungkan kerugian yang bersifat nonfisik yang dialami pemilik hak atas tanah, seperti dampak kehilangan pekerjaan dan konsekuensi- konsekuensi sosial budaya dalam lingkungan tempat tinggal yang baru. Peraturan-peraturan yang ada terkait pengadaan tanah untuk kepentingan umum hanya mengatur ganti rugi atas tanah, bangunan, dan tanaman di atasnya. Mengenai kerugian sosiologis, filosofis, dan lain-lain tidak disebutkan. Tidak ada ketentuan yang menunjukkan bahwa pemberian ganti rugi itu menjamin kehidupan rakyat yang kehilangan hak atas tanahnya yang lebih baik.
Meski demikian, masyarakat Indonesia, khususnya pemilik tanah menyadari bahwa tanah memiliki fungsi sosial. Mereka menyadari bahwa mereka adalah bagian dari negara ini. Karena itu, pada dasarnya, mereka rela untuk melepaskan tanahnya demi kepentingan umum.
Tuntutan nilai ganti rugi yang layak, bahkan sampai 2 (dua) kali harga. NOJP tidak perlu terjadi jika peraturan memperhitungkan secara jelas dan cermat nilai ganti rugi nonfisik. Jika persoalan ini didekati dengan pendekatan legal-positivistik, hal tersebut tidak akan mampu mengungkap akar persoalan pengadaan tanah pada tataran implementatif.
Secara sosiologis, pemilik hak atas tanah berhak mendapatkan kompensasi terhadap peralihan profesi akibat pelepasan tanah sebagai matapencaharian. Bagaimana petani yang kalangan tanahnya harus berubah profesi menjadi nonpetani, seperti buruh tani, buruh pabrik, penarik becak, buruh bangunan yang sebelumnya tak pernah mereka bayangkan.
Sama halnya dengan peralihan profesi, relokasi atau perpindahan tempat dari sebuah komunitas yang sudah menyatu dengan pemilik tanah membuat mereka enggan untuk melepaskan hak mereka atas tanah. Pemilik tanah mengalami ketercerabutan dari kehidupan sosial dari komunitas yang mereka tinggal sebelumnya. Mereka terpaksa harus berupaya untuk beradaptasi lagi dengan lingkungan baru. Apalagi bagi anak-anak yang sedang berkembang secara sosial dan psikologis. Mereka juga harus belajar untuk bersosialisasi dengan masyarakat yang baru. Hal lain bahwa tanah memiliki nilai kebahagian yang didalamnya tercakup kenikmatan. Salah satu sebabnya adalah bahwa kepemilikan atas tanah dapat menimbulkan kenang-kenangan bagi pemilik tanah di tempat atau komunitas yang sama.
Kerugian-kerugian sosiologis sebagaimana diuraikan diatas, sejauh ini, tidak diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan ataupun pula pada tataran implementasi oleh Panitia Pengadaan Tanah. Hal ini justru diatur dengan sangat jelas dan detail di Vietnam. Disana, pemegang sertifikat pemakaian tanah akan dikompensasikan dengan cara menyiapkan lahan baru untuk tujuan yang sama sesuai jenis tanah yang diambil. Atau, kepada pemakai tanah harus dibayarkan sama dengan nilai hak pakai tanah pada saat kompensasi dihitung / dibayarkan. Pemerintah dalam hal ini Komite Masyarakat, baik ditingkat provinsi ataupun kota dibawah kewenangan pusat harus merumuskan dan melaksanakan proyek pemukiman kembali sebelum pembebasan lahan dan melakukan relokasi tempat tinggal dengan membangun perumahan di atas lahan tempat tinggal yang baru.
Lebih dari itu, jika nilai hak pemakaian lahan yang dibebaskan lebih besar daripada lahan tempat tinggal yang digunakan untuk kompensasi maka pemakai tanah yang diambil harus mendapat kompensasi keuangan untuk perbedaan tersebut. Selain itu, pemakaian tanah (land user) didukung negara dalam menstabilkan hidup mereka. Merekapun diberi pelatihan-pelatihan untuk mengonversi pekerjaan baru. Dan, negara wajib mengatur pekerjaan baru untuk mereka.
3)      Aspek Filosofis
Salah satu tujuan hukum adalah melindungi hak asasi manusia. Hak asasi manusia adalah hak dasar manusia sebagai gambaran Tuhan (imagoDei) yang terbawa sejak lahir. Hak ini merupak sebuah faktisitas  (situasi terberi) dan bukannya diberikan. Konsekuensinya, negara wajib melindunginya. Hal ini dipertegas dalam sila kedua Pancasila “ Kemanusian yang Adil dan Beradab”. Sila ini menunjukkan bahwa negara menghargai hak asasi setiap rakyatnya.
Hak asasi manusia terdiri dari beberapa cakupan penting, yakni:
1.      Hak asasi pribadi (personal rights), yang meliputi: kebebasan menyatakan pendapat, memeluk agama, beraktivitas, mendapatkan pekerjaan yang layak, dan sebagainya;
2.      Hak asasi ekonomi (property rights), yaitu hak untuk memiliki sesuatu, memanfaatkannya, dan mengalihkannya, yang meliputi: hak untuk melakukan transaksi jual beli, sewa-menyewa, tukar-menukar, waris-mewaris, dan lain-lain;
3.      Hak untuk memperoleh perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan (the rights of legal equality), yang terdiri dari persamaan perlakuan di hadapan hakim, hak untuk memilih dan dipilih, dan sebagainya;
4.      Hak-hak sosial dan kebudayaan (social and cultural rights), seperti hak untuk memperoleh pendidikan, mengembangkan nilai-nilai budaya, dan sebagainya; serta
5.      Hak asasi untuk memperoleh perlakuan sama dalam prosedur hukum dan perlindungan hukum (procedurral rights), seperti perlakuan yang sama dalam proses penangkapan, penggeledahan, penahanan, dan sebagainya.
Selain hak-hak asasi yang disebutkan di atas, ada pula hak yang paling asasi karena jika hak yang paling asasi ini tidak terpenuhi maka hak-hak lain tidak akan ada manfaatnya. Hak ini disebut hak hidup, yaitu hak untuk memenuhi kebutuhan pokok, seperti sandang, pangan, dan papan. Hak hidup ini mencakup hak-hak dibidang ekonomi, sosial budaya, dan politik.
Pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai citra Tuhan telah dinyatakan dalam sila pertama Pancasila dan alinea ke-3 Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 UUD 1945. Selain itu, Sila kedua Pancasila “ Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” dan alinea ke-1 Pembukaan UUD 1945 menegaskan bahwa makna HAM dalam Pasal 1 Universal Declaration of Human Rights,  yang menyatakan  bahwa setiap orang dilahirkan bebas. Sesungguhnya, kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan penjajah di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Hal yang pokok disampaikan disini adalah Pasal 22 Universal of Human Rights, yang menyatakan bahwa setiap orang sebagai anggota masyarakat, berhak atas jaminan sosial dan berhak melaksanakan dengan perantaraan usaha-usaha nasional.   

D.    Jaminan Hukum Terhadap Pemegang Hak Atas Tanah Dalam Pelaksanaan UU No 12 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum mempunyai dua cara, yaitu secara sukarela dan cara wajib. Dalam hal secara sukarela seharusnya dilakukan secara musyawarah, namun pada pelaksanaannya dilaksanakan dengan cara intimidasi, terror, dan ancaman secara bentuk ketakutan lainnya, sehingga musywarah tersebut sifatnya semu, maka digunakannya dengan cara wajib yang telah lengkap peraturannya, yaitu dengan UU No. 20 Tahun 1961, sedangkan secara sukarela belum ada Uundang-undangnya. Menurut UU no 12 Tahun 2012, yaitu
1.      Tinjauan Filosofis
·         Dari sudut pandangan negara
a.       Pasal 33 ayat 3, UUD 1945: “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”
b.      Pasal 33 ayat 4, UUD 1945: “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan, kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan, dan kesatuan ekonomi kesatuan”.
c.       Makna penguasaan negara : “….bahwa rakyat secara kolektif itu, dikonstruksikan oleh undang-undang dasar 1945 memberikan mandat kepada negara untuk :
Ø  Mengadakan kebijakan (beleid)
Ø  Mengadakan pengaturan (regelendaad)
Ø  Melakukan pengurusan (bestundang-undangrstaad)
Ø  Melakukan pengelolaan (beheerstraad)
Ø  Melakukan pengawasan toezichthoudensdaad)
Untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Tolak ukur capaian “sebesar-besar kemakmuran rakyat” adalah :
Ø  Kemanfaatan pembangunan untuk kepentingan umum/rakyat
Ø  Tingkat pemerataan kemanfaatannya bagi rakyat
Ø  Tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat
Ø  Penghormatan terhadap hak rakyat
2.      Tinjauan Sosiologis
Secara sosiologis pembangunan untuk kepentingan umum memerlukan ketersedian tanah.Tanah yang diperlukan untuk kepentingan umum tersebut pada umumnya sudah dikuasai oleh orang perorangan, badan hukum, atau oleh masyarakat hukum adat.
Undang-undang no 2 tahun 2012 disusun sebagai landasan hukum perolehan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, yang dapat memberikan keseimbangan antara kepentingan pihak yang memerlukan tanah dan pihak yang tanahnya diperlukan untuk kepentingan umum.
3.      Tinjauan Yuridis
Sesuai konsepsi Hukum Tanah Nasional, perolehan tanah untuk kepentingan umum dibedakan menjadi :
a.       Bila pihak pemegang ha katas tanah bersedia melepaskan tanahnya secara sukarela dengan menerima ganti kerugian atas dasar musyawarah, maka cara yang ditempuh adalah “Pengadaan Tanah”.
b.      Bila jalan musyawarah tidak mencapai hasil yang diharapkan, pemerintah sesuai dengan wewenangnya, dapat mengambil dan menguasai tanah yang bersangkutan dengan cara pencabutan hak atas  tanah disertai pemberian ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang.
Meskipun negara mengatur hak penggunaan tanah, negara juga memberi jaminan kepada pengguna tanah.Negara mengeluarkan sertifikat hak pengelolaan tanah kepada pengguna tanah dan tidak dapat mengklaim tanah yang dialokasikan ke pengguna. Negara wajib mengeluarkan kebijakan untuk memfasilitasi langsung produsen dalam pertanian, kehutanan, perikanan dan tanah garam untuk memiiki lahan untuk produksi; dan juga wajib mengeluarkan kebijakan untuk insentif investasi, untuk pelatihan kerja dan pengembangan dan penciptaan lapangan kerja untuk buruh di daerah pedesaan sesuai dengan proses konversi struktur penggunaan lahan dan komversi dari
Setelah mengkaji dan menganalisis ketentuan yang tertuang di dalam UU Nomor 2 Tahun 2012 maka dapat dipahami bahwa UU ini memberikan perlindungan hukum yang jelas kepada para pemegang hak sebagaimana diatur berikut ini:
1.      Pasal 1 angka (2) menentukan Pengadaan Tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.
2.      Pasal 5 menentukan pihak yang berhak wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum setelah pemberian Ganti Kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
3.      Pasal 16 menentukan Instansi yang memerlukan tanah bersama pemerintah provinsi berdasarkan dokumen perencanaan Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 melaksanakan:
a.       pemberitahuan rencana pembangunan;
b.      pendataan awal lokasi rencana pembangunan; dan
c.       Konsultasi Publik rencana pembangunan.
Menyimak berbagai ketentuan tersebut di atas, bahwa UU No. 2 Tahun 2012 sangat memberikan peluang dan perlindungan hukum dan hak yang sangat besar kepada para pemegang hak, walaupun pemegang hak diwajibkan untuk menyerahkan hak atas tanahnya jika tanah tersebut dijadikan obyek pengadaan tanah untuk pembangunan sarana kepentingan umum.



BAB III
KESIMPULAN
Dari keseluruhan penjelasan diatas kita dapat menarik beberapa kesimpulan yaitu:
1.      Tanah untuk kepentingan umum yaitu tanah yang digunakan oleh masyarakat umum dan dimanfaatkan untuk menjalankan kehidupan.
2.      Dasar hukum mengenai tanah untuk kepentingan umum diatur dalam UU No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Kepentingan Umum.
3.      Istilah ganti rugi adalah pemberian ganti atas kerugiaan yang diderita oleh pemegang hak atas tanah atas beralihnya haknya tersebut. Ganti rugi disini harus adil dimana pemilik tanah dan pengadaan tanah yang akan digunakan untuk kepentingan umum tersebut.
4.      UU Nomor 2 Tahun 2012 ini memberikan perlindungan hukum yang jelas kepada para pemegang hak sebagaimana diatur berikut ini:
a.       Pasal 1 angka (2) menentukan Pengadaan Tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.
b.      Pasal 5 menentukan pihak yang berhak wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum setelah pemberian Ganti Kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
c.       Pasal 16 menentukan Instansi yang memerlukan tanah bersama pemerintah provinsi berdasarkan dokumen perencanaan Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 melaksanakan:
1)      pemberitahuan rencana pembangunan;
2)      pendataan awal lokasi rencana pembangunan; dan
3)      Konsultasi Publik rencana pembangunan.
DAFTAR PUSTAKA
Limbong, Bernhard. 2014. Politik Pertanahan. Jakarta : Margaretha Pustaka.
Ridwan. 2010. Pemilikan Rakyat dan Negara Atas Tanah. Jakarta : Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI.
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar