Perlindungan Hukum Bagi Pemilik Tanah yang Tanahnya Dipakai untuk
Kepentingan Umum
Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur mata
kuliah: Hukum Agraria
by Mira Hermawati
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Setiap individu mempunyai hak dan
kewajiban yang sama yang dlindungi oleh hukum, baik oleh hukum tertulis maupun
hukum yang tidak tertulis. Hak-hak individu tersebut selalu melekat pada
masing-masing individu dan wajib dilindungi oleh hukum dan dihormati oleh semua
pihak, baik oleh pihak pemerintah maupun oleh pihak lain seperti badan hukum
swasta, individu, dan masyarakat.
Hak-hak individu dan masyarakat
diatur dengan jelas di dalam Pasal 27 dan 28 UUD 1945, untuk itu wajib
dilindungi diatur dan dilindungi oleh hukum. Terutama sekali hak milik, khusus
hak milik atas tanah. Hak milik atas tanah menurut UUPA adalah hak yang turun
temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dimiliki oleh seseorang atas tanah
dengan memperhatikan prinsip fungsi sosial. Artinya bahwa hak milik atas tanah
itu adalah hak yang selalu melekat pada setiap subyek hak yang turun temurun
yang dapat diwariskan secara terus menerus sampai kapanpun, dan merupakan hak
yang paling kuat dan di dalamnya dapat dibebani dengan hak-hak atas tanah
lainnya, namun harus mengutamakan kepentingan umum. Demikian pula hak-hak atas
tanah lainnya yang dikuasai oleh subyek hukum wajib dihormati dan dihargai oleh
siapapun. Oleh karena itu apapun perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemerintah
untuk kepentingan umum wajib menghormati hak-hak individu.
Untuk mendapatkan tanah guna
membangun sarana kepentingan umum ini, pemerintah dapat melakukan dengan dua
cara, yaitu melakukan pembebasan hak atas tanah melalui pengadaan tanah untuk
kepentingan umum dan melakukan pencabutan hak atas tanah. Kedua cara ini
mempunyai tatacara dan prosedur yang hampir sama, tetapi kedua cara ini
dilakukan dalam kondisi yang berbeda, namun kedua-duanya sama-sama memutuskan
hubungan hukum antara pemegang hak dengan tanahnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami perlindungan
hukum hak-hak individu dan kelompok dalam pengadaan tanah untuk sarana
pembangunan kepentingan umum berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 dan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012; dan untuk mengetahui dan memahami persamaan
dan perbedaan prinsip dalam proses pengadaan tanah untuk sarana pembangunan
kepentingan umum menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 dan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2012.
Konsepsi perlindungan hukum adalah sebagai berikut: Satjipto
Rahardjo, mengatakan “perlidungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap
hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan
kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan hukum.”
Adnan Buyung Nasution mengatakan:” perlindungan hukum adalah melindugi hak dan
martabat manusia dari pemerkosaan yang pada dasarnya serangan hak pada orang
lain telah melanggar aturan norma hukum dan Undang-undang.” Philipus M. Hadjon
membedakan dalam dua macam, yaitu sebagai berikut:
1.
Perlindungan
hukum preventif adalah perlindungan hukum di mana rakyat diberikan kesempatan
untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum sesuatu
keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Dengan demikian
perlindungan hukum preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa.
2.
Perlindungan
hukum represif, yaitu upaya perlindungan hukum yang peradilan administrasi
negara. Perlindungan hukum represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.”
Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012 Pasal 1 angka (2) disebutkan bahwa Pengadaan Tanah adalah kegiatan
menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada
pihak yang berhak. Pengadaan tanah dilakukan dengan cara musyawarah dan mufakat
antara instansi yang membutuhkan tanah tersebut dengan pemegang haknya.
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah memperhatikan keseimbangan antara kepentingan
pembangunan dan kepentingan masyarakat. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum
dilaksanakan dengan pemberian Ganti Kerugian yang layak dan adil.
B.
Rumusan Masalah
Bertitik tolak pada latar belakang diatas,
dapat dijabarkan rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Apa
pengertian tanah untuk kepentingan umum?
2.
Apa
dasar hukum tentang kepentingan umum?
3.
Apa yang
dimaksud dengan kompensasi yang adil?
4.
Apa
saja jaminan hukum terhadap pemegang hak atas tanah dalam pelaksanaan UU No 12
Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum?
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan
dalam pembahasan makalah ini, berdasarkan rumusan masalah di atas antara lain :
1.
Mengetahui
pengertian tanah untuk kepentingan umum.
2.
Mengetahui
dasar hukum tentang kepentingan umum.
3.
Mengetahui
tentang kompensasi yang adil.
4.
Mengetahui
jaminan hukum terhadap pemegang hak atas tanah dalam pelaksanaan UU No 12 Tahun
2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tanah Untuk Kepentingan Umum
Konstitusi kita memberikan jaminan
bahwa tanah merupakan hak dasar atas setiap orang. Jaminan tersebut dipertegas
dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International
Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (kovenan Internasional
tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya).
Dalam kenyataannya, tanah memiliki
arti yang sangat vital bagi kehidupan manusia, jika dilihat dari fungsinya,
tanah merupakan social asset sekaligus capital asset. Tanah
sebagai social asset merupakan sarana pengikat kesatuan sosial di
kalangan masyarakat untuk hidup dan kehidupan. Sementara sebagai capital
asset, tanah merupakan faktor modal dalam pembangunan dan telah tumbuh
sebagai benda ekonomi yang sangat penting sekaligus sebagai bahan perniagaan
dan objek spekulasi.
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia
Kepentingan Umum berasal dari dua kata, yaitu kepentingan yang berasal dari
kata penting yang artinya sangat perlu, sangat utama, diutamakan, sedangkan
kata umum diartikan keseluruhan untuk siapa saja, khalayak manusia, masyarakat
luas dan lazim.
Pakar Roscou Pound mengemukakan
pendapat bahwa kepentingan masyarakat (sosial interst) adalah suatu
kepentingan yang tumbuh di masyarakat menurut kepentingan di dalam masyarakat
itu sendiri.
Jan Gijssel berpendapat bahwa
kepentingan umum tidak mudah dirumuskan, karena kepentingan umum itu merupakan
pengertian yang kabur sehingga tidak mudah diinstutisionalkan kedalam suatu
norma hukum, yang apabila dipaksakan akibatnya akan menjadi norma kabur. Hal
senada pun diungkapkan JJH Bruggink yang menyatakan bahwa kepentingan umum
sebagai salah satu pengertian yang kabur artinya setiap pengertian yang isinya
tidak dapat ditetapkan secara tepat, sehinggap lingkup Pengadilan Negeri tidak
jelas.
Satu pandangan menurut Benhard
Limbong, bahwa suatu kepentingan umum dapat berlaku sepanjang kepentingan
tersebut tidak bertentangan dengan hukum positif maupun hukum yang tumbuh,
hidup, dan berkembang dalam masyarakat yang penerapannya bersifat kasuitis.
Tanah merupakan anugerah Tuhan dan
menjadi sumber daya alam yang strategis bagi bangsa, negara, dan rakyat. Dengan
demikian, tanah dapat dijadikan sarana untuk mencapai kesejahteraan hidup
bangsa. Gagasaan tersebut telah menjad amanat konstitusional sebagaimana termaksud
dalam Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa: Bumi,
air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dalam pasal tersebut terkandung
makna pemberian kekuasaan pada negara untuk mengatur sumber daya alam yang
terkandung di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang peruntukkan bagi
kesejahteraan segenap rakyat Indonesia. Dalam pasal itu pulalah muncul konsep
dasar hak menguasai tanah oleh negara. Konsep tersebut pun dijabarkan secara
jelas dalam Pasal 2 UUPA. Disana disebutkan kewenangan negara yang mencakup
antara lain;
a.
Mengatur
dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan
bumi, air dan ruang angkasa,
b.
Menentukan
dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan
ruang angkasa,
c.
Menentukan
dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan
hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.
Saat ini, kebutuhan tanah sebagai capital
asset semakin meningkat sehubungan dengan semakin intensifnya kegiatan
pembangunan terutama pembangunan di bidang fisik baik di kota maupun di desa
tentu saja banyak memerlukan tanah sebagai tempat penampungan kegiatan
pembanguanan tersebut. Kebutuhan akan tersedianya tanah untuk keperluan
pembangunan tersebut memberi peluang terjadinya pengambilalihan tanah untuk
berbagai proyek, baik untuk kepentingan negara/kepentingan umum maupun untuk
kepentingan bisnis, dalam skala besar maupun kecil. Mengingat tanah negara yang
tersedia sudah tidak memadai lagi jumlahnya, maka untuk mendukung berbagai
kepentingan tersebut di atas yang menjadi objeknya adalah tanah-tanah hak, baik
yang dipunyai oleh perseorangan, badan hukum, maupun masyarakat adat.
Namun permasalahan muncul berkenaan
dengan ketersediaan tanah untuk pembangunan. Benturan kepentingan terjadi
manakala di satu sisi pembangunan sangat memerlukan tanah sebagai sarana
utamanya, sedangkan di sisi lain sebagian besar dari warga masyarakat juga
memerlukan tanah sebagai tempat pemukiman dan tempat mata pencahariannya.
Situasi paradox pun terhindarkan. Paradoksnya adalah bahwa manakala tanah
teersebut diambil begitu saja dan dipergunakan untuk keperluan pembangunan,
maka jelas hak asasi warga masyarakat dikorbankan padahal kita menganut prinsip
rule of law yang menjamin perlindungan hak asasi manusia. Sebaliknya,
manakala kita menjunjung prinsip rule of law, tentu saja usaha-usaha
pembangunan akan terhambat.
Untuk itu, pemerintah
telah mengeluarkan kebijakan agar pembangunan tetap dapat terpelihara, khususnya pembangunan berbagai fasilitas untuk kepentingan umum
yang memerlukan tanah. Kebijakan hukum dari pemerintah untuk memperoleh
tanah-tanah tersebut terlaksana melalui pengadaan tanah.
B.
Dasar Hukum Kepentingan Umum
Saat ini, pengaturan mengenai tanah
untuk kepentingan umum diatur dalam UU no 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan Kepentingan Umum. UU ini merupakan peraturan pelaksanaan dari
ketentuan Pasal 18 UUPA. Dalam konsideran UU tersebut dinyatakan bahwa dalam
rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera pemerintah perlu
melaksanakan pembangunan. Selanjutnya, untuk menjamin terselenggaranya
pembangunan untuk kepetingan umum, diperlukan tanah yang pengadaannya
dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan, demokratis dan adil.
C.
Kompensasi yang Adil
Ganti rugi dibatasi sebagai penggantian terhadap kerugian, baik
bersifat fisik dan/atau nonfisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang
mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang berkaitan
dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari
tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah.
Istilah ganti rugi tersebut dimaksud adalah pemberian ganti atas
kerugiaan yang diderita oleh pemegang hak atas tanah atas beralihnya haknya
tersebut. Masalah ganti kerugian menjadi kompenen yang paling sensitif dalam
proses pengadaan tanah. Pembebasan dari bentuk dan besarnya ganti kerugian
sering kali menjadi proses yang panjang, dan berlarut-larut (time consunning)
akibat tidak adanya kesepakatan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Sementara itu, dalam bidang
keperdataan, ganti rugi ditandai sebagai pemberian prestasi yang setimpal
akibat dari satu perbuatan yang menyebabkan kerugian diderita oleh salah satu
pihak yang melakukan kesepakatan/konsensus. Singkatnya ganti rugi adalah
pengennaan ganti sebagai akibat adanya pengunaan hak dari satu pihak untuk
pemenuhan kebutuhan dan kepentingan dari lain.
Bentuk ganti kerugian yang
ditawarkan seharusnya tidak hanya ganti kerugian bentuk fisik yang hilang,
tetapi juga menghitung ganti kerugian non fisik seperti pemulihan kondisi
sosial ekonomi masyarakat yang dipindahkan kelokasi yang baru. Sepatutnya pemberi
ganti kerugian tersebut harus tidak membawa dampak kerugian kepada pemegang hak
atas tanah yang kehilangan haknya tersebut melainkan membawa dampak pada
tingkat kehidupan yang lebih baik atau minimal sama pada waktu sebelum
terjadinya kegiatan pembangunan.
Adapun dalam Perpres No 36 Tahun
2005 Pasal 12 mengatur masalah ganti rugi diberikan untuk : Hak atas tanah,
bangunan, tanaman, benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah. Pasal 13 ayat
1 menerangkan tentang pemberian bentuk ganti rugi tersebut dapat berupa uang,
tanah pengganti, pemukiman kembali. Sedangkan dalam ayat 2, mengenai penggantian
kerugian apabila pemegang hak atas tanah tidak menghendaki bentuk ganti
kerugian sebagaimana disebutkan dalam ayat 1 maka bentuk keruginnya diberikan
dalam bentuk kompensasi berupa penyertaan modal (saham).
Untuk penggantian terhadap tanah
ulayat yang dikuasai dengan hak ulayat dan terkena pembangunan maka ganti
kerugiannya diberikan dalam bentuk fasiitas umum atau bentuk lain yang
bermanfaat bagi masyarakat setempat. Dapat disimpulkan bahwa ganti rugi yang
diberikan oleh instansi Pemerintah hanya diberikan kepada faktor fisik semata. Namun
demikian, seharusnya patut pula dipertimbangkan tentang adanya ganti rugi
faktor-faktor non fisik (immaterial).
Dalam pengadaan tanah, kompensasi
didefinisikan sebagai pengganti atas faktor fisik (material) dan non fisik
(immaterial). Bentuk dan besarnya kompensasi haruslah sedemikian rupa hingga
masyarakat yang terkena dampak kegiatan pembangunan tidak mengalami kemunduran
dalam bidang sosial maupun pada tingkat ekonominya.
Kompensasi dalam rangka pengadaan
tanah dibedakan atas: kompensasi atas faktor fisik (materiil) meliputi
penggantian atas: Tanah yang baik yang bersertifikat dan yang belum
bersertifikat, tanah ulayat, tanah wakaf, tanah yang dikuasai tanpa alas hak
yang dengan atau tanpa ijin pemilik tanah, bangunan, tanaman, benda-benda lain
yang berkaitan dengan tanah. Kompensasi atas faktor non fisik (immaterial)
yaitu penggantian atas kehilangan, keuntungan, kenikmatan, manfaat atau
kepentingan yang sebelumnya diperoleh oleh masyarakat yang terkena pembangunan
sebagai akibat kegiatan pembangunan tersebut.
Dalam hal ini ganti kerugian hanya
diberikan kepada orang-orang yang hak atas tanahnya terkena proyek pembangunan.
Pada kenyatannya, masyarakat disekitar proyek tersebut juga terkena dampak,
baik yang positif maupun negative, seperti kehilangan akses hutan, sungai
sumber mata pencaharian lainnya. Bentuk ganti kerugian komunal harus
diperhatikan berdasarkan hukum adat komunikasi setempat. Inventarisasi asset
saja tidak mencukupi dan diusulkan untuk terlebih dahulu melakukan survey
sosial ekonomi yang menyeluruh sebelum pembebasan tanah dilakukan. Perlu juga dikembangkan bentuk ganti
kerugian dalam pola kemitraan jangka panjang yang saling mengutungkan antara
pemilik modal (swasta) atau pemerintah dengan masyarakat pemilik hak atas
tanah.
Pada pengaturan sekarang hanya
ditentukan penggantian kerugian terbatas bagi masyarakat pemilik tanah atau
penggarap tanah, berarti ahli warisan. Ketentuan ini tanpa memberikan
perlindungan terhadap warga masyarakat yang bukan pemilik, seperti penyewa atau
orang yang mengerjakan tanah, yang mrnguasai dan menepati serta untuk
kepentingan umum, masyarakat kontribusi dari pembangunan itu, serta rekognisi
sebagai ganti pendapatan, pemanfaatan dan penguasaan hak ulayat mereka yang
telah digunakan untuk pembangunan.
a.
Istilah
ganti rugi
Ganti rugi itu cenderung berarti bahwa paradigma bahwa pemilik hak atas
tanah itu sudah mengalami kerugian sebelum pelepasan tanahnya untuk kepentingan
umum, berbeda dengan kompensasi. Dalam kompensasi, proyek pengadaan tanah itu
tidak identik dengan proses pemiskinan masyarakat. Istilah yang tepat untuk
digunakan adalah kompensasi.
Berbeda dengan istilah ganti rugi yang berasumsi ada pihak yang
rugi, kompensasi pada dasarnya memiliki posisi yang setara. Bahkan nilai
kompensasi menjadi lebih tinggi karena ada perhitungan aspek nonfisik yang
dirasakan oleh pemilik hak atas tanah pada saat melepaskan tanahnya. Karena itu
alasanya mengapa lebih dipakai istilah kompensasi dari pada ganti rugi adalah
bahwa supaya negara menghitung nilai tanah dan aspek lainnya yang berhubungan
dengan tanah yang dilepaskan untuk kepentingan umum, termasuk aspek nonfisik.
Bentuk ganti rugi dalam pengadaan tanah untuk pembangunan
kepentingan umum mencakup dua aspek, yaitu aspek fisik dan aspek nonfisik. Asspek
fisik cenderung bermakna bentuk ganti rugi yang bersifat ekonomis, terutama
terkait tanah dan benda-benda yang ada diatas tanah, seperti rumah/bangunan dan
tanaman.Sedangkan, aspek ganti rugi non fisik mencakup hal-hal yang bersifat
sosiologis dan filosofis.
b.
Aspek-Aspek
Kompensasi
Pada perinsipnya perhitungan kompensasi yang layak harus
memperhatikan tiga aspek penting berkut, yakni aspek ekonomi,aspek sosiologis
dan aspek filosofis.
1)
Aspek
Ekonomis
Peraturan perundang-undangan terkait pengaduan tanah untuk
kepentingan umum di Indonesia menyebutkan bahwa dasar perhitungan nilai ganti
rugi tanah berdasarkan NJOP. Sebuah penaksiran yang berdasarkan NJOP, sudah
dengan sendirinya mengurangi nilai tanah ada obyek-obyek tertentu, karena itu
peran penilai harga tanah sangat menentukan nilai ekonomis tanah yang layak
dengan spirit tidak merugikan rakyat pemilik hak atas tanah.
Dalam berbagai ketentuan mengenai bentuk ganti rugi tentang
pengaduan tanah untuk kepentingan umum di Indonesia, pemilik hak atas tanah
mengalami kerugian secara ekonomis, hal ini dapat dilihat dalam tiga peraturan
hak keppres No 55/1993 maupun perpres No.36/2005 dan No.65/2006, ketiga
peraturan ini menyebutkan bahwa bentuk ganti kerugian meliputi
-
Uang
-
Tanah
pengganti
-
Pemukiman
kembali
-
Gabungan
dari uang dan tanah pengganti serta pemukiman kembali
-
Bentuk
lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan
-
Penyertaan
modal (saham) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Mengenai kerugian secara ekonomis dipertegas lagi oleh RUU tentang
pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, dalam RUU ini,
dijabarkan bahwa untuk ganti rugi dapat berupa
-
Uang,
dan/atau
-
Tanah
pengganti, dan/atau
-
Pemukiman
kembali dan
-
Penyertaan
modal (saham) sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Mengenai bentuk kompensasi ini juga diatur dalam kebijakan
internasional, yang termaktub dalam World commission on Dams (WCD) dalam
perspektif Internasional, bentuk kompensasi yang diberikan dalam rangka
pengadaan tanah meliputi
-
Kompensasi
moneter bagi asetyang hilang dan kehilangan akses ke sumberdaya, dan
-
Kompensasi
nonmoneter atau kompensasi berupa pembagian keuntungan keuangan
Bentuk kompensasi lebih lanjut dijabarkan oleh vincent roquet dan
carine durocher, mereka menganjurkan 4 (empat) bentuk kompensasi pada umumnya.
Petama kompensasi moneter atas aset yang hilang dan kehilangan
akses terhadap sumberdaya, kompensasi ini dibayarkan sesuai dengan nilai pasar
untuk aset yang hilang dan/atau kehilangan akses ke sumber daya.
Kedua, perbaikan dan peningkatan mata pencaharian, jenis kompensasi
ini meliputi
-
Promosi
kerja pertania berkelanjutan untuk pekerjaan irigasi, pengeringan tanah,
budidaya di daerah penarikan dan keuntungan lain dari pengelolaan banjir dan /
atau jasa penyuluhan pertanian dan
-
Promosi
pekerjaan nonpertanian berkelanjutan yang berbasis lokal, seperti pekerjaan
jenis kompensasi ini konstruksi dan operasi,
pekerjaan jasa dan industri, serta pelatihan keterampilan.
Ketiga, pengembangan masyarakat, jenis kompensasi ini terkait
dengan pemukiman kembali kompensasi ini meliputi:
-
Akses
kelayanan dasar
-
Akses
kelayanan keuangan
-
Penyedian
air untuk rumah tangga,jalan dan transportasi umum dan agama
-
Akses
sumber daya umum
Keempat, pembangunan daerah tagkapan air, jenis kompensasi ini
meliputi
-
Pengelolaan
sumber daya DAS
-
Penghutanan
kembali
-
Peningkatan
sumber daya lingkungan
Dalam keppres No.55/1993 ini disebutkan bahwa dasar dan perhitungan
ganti kerugian ditetapkan atas dasar:
-
Harga
tanah yang didasarkan atas nilai nyata atau sebenarnya dengan memperhatikan
NJOP bumi dan bangunan yang terkait untuk tanah yang bersangkutan
-
Nilai
jual bangunan yang dtaksir oleh instansi pemerintah daerah yang bertanggung
jawab di bidang pertanian dan
-
Nlai
jual tanaman yang ditaksir oleh instansi pemerintah daerah yang bertanggung
jaab di bidang pertanian.
Perpres No.36/2005 juga menyebutkan bahwa dasar perhitungan ganti
kerugian ditentukan oleh
-
NJOP
atau nilai nyata/ sebenarnya dengan memperhatikan NJOP tahun berjalan
berdasarkan penetapan lembaga/ tim penilai harga tanah yang ditunjuk oleh
panitia.
-
Niai
jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di
bidang bangunan dan
-
Nilai
jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di
bidang pertanian.
Perpres No. 65/2006 dalam
perpres ini disebutkan dasar perhitungan nilai ganti rugi meliputi:
-
NJOP
atau nilai nyata/ sebenarnya dengan memperhatikan NJOP tahun berjalan
berdasarkan penetapan lembaga/ tim penilai harga tanah yang ditunjuk oleh
panitia.
-
Niai
jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di
bidang bangunan dan
-
Nilai
jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di
bidang pertanian.
Di vietnam dasar perhitungan nilai ganti rugi ini diatur secara terinci sebagaimana diuraikan
berikut ini :
-
Nilai
tanah harus dekat dengan harga pasar untuk pengmbilan hak pakai tanah dalam
kondisi normal. Jika ada perbedaan besar dibandingkan harga pasar sebenarnya,
maka harus disesuaikan untuk kesusuaian atau keselarasan.
-
Harga
yang di hitung disesuaikan dengan kondisi alam,ekonomi,sosial dan infrastruktur
pada saat pengambilan tanah, harga juga harus memperhitungkan tujuan pemakaian
lahan antara tujuan saat itu dengan tujuan pemakaian lahan tersebut di masa
mendatang berdasarkan perencanaahn pemerintah.
Menurut literatur, dalam beberapa yurisdiksi, kompensasi harus mencakup,
nilai tujuan (nilai pasar) dari pengambilalihan kepemilikan, depresiasi dari
nilai harta tetap (kerugian afeksi atau pesangon), dan kerusakan lainnya
(misalnya hilangnya keuntungan) dan biaya (misalnya biaya profesional) yang
akan melemahkan situasi keuangan pemilik atau pengguna. Jadi, rumus perhitungan
kompensasi yang ideal adalah sebagai berikut:
TC = (V+S+D)+C
(dengan
TC = total kompensasi (total compensation), V = kompensasi untuk hak milik (property),
S = kompensasi atas kerusakan karena kehilangan kasih sayang atau kenikmatan
ditempat yang lama (compensation for damage due to injurious affection of
severance), D = kompensasi terhadap kerugian lainnya (compensation for
other damages), dan C = kompensasi biaya / pembayaran tambahan (compensation
for costs / additional payments)).
2)
Aspek
Sosiologis
Salah satu kelemahan prinsip dalam regulasi tentang pengadaan tanah
untuk pembangunan kepentingan umum di Indonesia adalah bentuk ganti rugi yang
tidak memperhitungkan kerugian yang bersifat nonfisik yang dialami pemilik hak
atas tanah, seperti dampak kehilangan pekerjaan dan konsekuensi- konsekuensi
sosial budaya dalam lingkungan tempat tinggal yang baru. Peraturan-peraturan
yang ada terkait pengadaan tanah untuk kepentingan umum hanya mengatur ganti
rugi atas tanah, bangunan, dan tanaman di atasnya. Mengenai kerugian
sosiologis, filosofis, dan lain-lain tidak disebutkan. Tidak ada ketentuan yang
menunjukkan bahwa pemberian ganti rugi itu menjamin kehidupan rakyat yang
kehilangan hak atas tanahnya yang lebih baik.
Meski demikian, masyarakat Indonesia, khususnya pemilik tanah
menyadari bahwa tanah memiliki fungsi sosial. Mereka menyadari bahwa mereka
adalah bagian dari negara ini. Karena itu, pada dasarnya, mereka rela untuk
melepaskan tanahnya demi kepentingan umum.
Tuntutan nilai ganti rugi yang layak, bahkan sampai 2 (dua) kali
harga. NOJP tidak perlu terjadi jika peraturan memperhitungkan secara jelas dan
cermat nilai ganti rugi nonfisik. Jika persoalan ini didekati dengan pendekatan
legal-positivistik, hal tersebut tidak akan mampu mengungkap akar persoalan
pengadaan tanah pada tataran implementatif.
Secara sosiologis, pemilik hak atas tanah berhak mendapatkan
kompensasi terhadap peralihan profesi akibat pelepasan tanah sebagai
matapencaharian. Bagaimana petani yang kalangan tanahnya harus berubah profesi
menjadi nonpetani, seperti buruh tani, buruh pabrik, penarik becak, buruh
bangunan yang sebelumnya tak pernah mereka bayangkan.
Sama halnya dengan peralihan profesi, relokasi atau perpindahan
tempat dari sebuah komunitas yang sudah menyatu dengan pemilik tanah membuat
mereka enggan untuk melepaskan hak mereka atas tanah. Pemilik tanah mengalami
ketercerabutan dari kehidupan sosial dari komunitas yang mereka tinggal
sebelumnya. Mereka terpaksa harus berupaya untuk beradaptasi lagi dengan
lingkungan baru. Apalagi bagi anak-anak yang sedang berkembang secara sosial
dan psikologis. Mereka juga harus belajar untuk bersosialisasi dengan
masyarakat yang baru. Hal lain bahwa tanah memiliki nilai kebahagian yang
didalamnya tercakup kenikmatan. Salah satu sebabnya adalah bahwa kepemilikan
atas tanah dapat menimbulkan kenang-kenangan bagi pemilik tanah di tempat atau
komunitas yang sama.
Kerugian-kerugian sosiologis sebagaimana diuraikan diatas, sejauh
ini, tidak diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan ataupun pula
pada tataran implementasi oleh Panitia Pengadaan Tanah. Hal ini justru diatur
dengan sangat jelas dan detail di Vietnam. Disana, pemegang sertifikat
pemakaian tanah akan dikompensasikan dengan cara menyiapkan lahan baru untuk
tujuan yang sama sesuai jenis tanah yang diambil. Atau, kepada pemakai tanah
harus dibayarkan sama dengan nilai hak pakai tanah pada saat kompensasi
dihitung / dibayarkan. Pemerintah dalam hal ini Komite Masyarakat, baik
ditingkat provinsi ataupun kota dibawah kewenangan pusat harus merumuskan dan
melaksanakan proyek pemukiman kembali sebelum pembebasan lahan dan melakukan
relokasi tempat tinggal dengan membangun perumahan di atas lahan tempat tinggal
yang baru.
Lebih dari itu, jika nilai hak pemakaian lahan yang dibebaskan
lebih besar daripada lahan tempat tinggal yang digunakan untuk kompensasi maka
pemakai tanah yang diambil harus mendapat kompensasi keuangan untuk perbedaan
tersebut. Selain itu, pemakaian tanah (land user) didukung negara dalam
menstabilkan hidup mereka. Merekapun diberi pelatihan-pelatihan untuk
mengonversi pekerjaan baru. Dan, negara wajib mengatur pekerjaan baru untuk
mereka.
3)
Aspek
Filosofis
Salah satu tujuan hukum adalah melindungi hak asasi manusia. Hak
asasi manusia adalah hak dasar manusia sebagai gambaran Tuhan (imagoDei)
yang terbawa sejak lahir. Hak ini merupak sebuah faktisitas (situasi terberi) dan bukannya diberikan.
Konsekuensinya, negara wajib melindunginya. Hal ini dipertegas dalam sila kedua
Pancasila “ Kemanusian yang Adil dan Beradab”. Sila ini menunjukkan bahwa
negara menghargai hak asasi setiap rakyatnya.
Hak asasi manusia terdiri dari beberapa cakupan penting, yakni:
1.
Hak
asasi pribadi (personal rights), yang meliputi: kebebasan menyatakan
pendapat, memeluk agama, beraktivitas, mendapatkan pekerjaan yang layak, dan
sebagainya;
2.
Hak
asasi ekonomi (property rights), yaitu hak untuk memiliki sesuatu,
memanfaatkannya, dan mengalihkannya, yang meliputi: hak untuk melakukan
transaksi jual beli, sewa-menyewa, tukar-menukar, waris-mewaris, dan lain-lain;
3.
Hak
untuk memperoleh perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan (the
rights of legal equality), yang terdiri dari persamaan perlakuan di hadapan
hakim, hak untuk memilih dan dipilih, dan sebagainya;
4.
Hak-hak
sosial dan kebudayaan (social and cultural rights), seperti hak untuk
memperoleh pendidikan, mengembangkan nilai-nilai budaya, dan sebagainya; serta
5.
Hak
asasi untuk memperoleh perlakuan sama dalam prosedur hukum dan perlindungan
hukum (procedurral rights), seperti perlakuan yang sama dalam proses
penangkapan, penggeledahan, penahanan, dan sebagainya.
Selain hak-hak asasi yang disebutkan di atas, ada pula hak yang
paling asasi karena jika hak yang paling asasi ini tidak terpenuhi maka hak-hak
lain tidak akan ada manfaatnya. Hak ini disebut hak hidup, yaitu hak untuk
memenuhi kebutuhan pokok, seperti sandang, pangan, dan papan. Hak hidup ini
mencakup hak-hak dibidang ekonomi, sosial budaya, dan politik.
Pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai citra Tuhan telah
dinyatakan dalam sila pertama Pancasila dan alinea ke-3 Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 Pasal 29 UUD 1945. Selain itu, Sila kedua Pancasila “ Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab” dan alinea ke-1 Pembukaan UUD 1945 menegaskan bahwa
makna HAM dalam Pasal 1 Universal Declaration of Human Rights, yang menyatakan bahwa setiap orang dilahirkan bebas.
Sesungguhnya, kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan penjajah di atas dunia
harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Hal
yang pokok disampaikan disini adalah Pasal 22 Universal of Human Rights,
yang menyatakan bahwa setiap orang sebagai anggota masyarakat, berhak atas
jaminan sosial dan berhak melaksanakan dengan perantaraan usaha-usaha
nasional.
D.
Jaminan Hukum Terhadap Pemegang Hak Atas Tanah Dalam Pelaksanaan UU
No 12 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum
Pengadaan tanah untuk kepentingan
umum mempunyai dua cara, yaitu secara sukarela dan cara wajib. Dalam hal secara
sukarela seharusnya dilakukan secara musyawarah, namun pada pelaksanaannya
dilaksanakan dengan cara intimidasi, terror, dan ancaman secara bentuk
ketakutan lainnya, sehingga musywarah tersebut sifatnya semu, maka digunakannya
dengan cara wajib yang telah lengkap peraturannya, yaitu dengan UU No. 20 Tahun
1961, sedangkan secara sukarela belum ada Uundang-undangnya. Menurut UU no 12
Tahun 2012, yaitu
1.
Tinjauan
Filosofis
·
Dari
sudut pandangan negara
a.
Pasal
33 ayat 3, UUD 1945: “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”
b.
Pasal
33 ayat 4, UUD 1945: “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan, kebersamaan, efisiensi, berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan, dan kesatuan ekonomi kesatuan”.
c.
Makna
penguasaan negara : “….bahwa rakyat secara kolektif itu, dikonstruksikan oleh
undang-undang dasar 1945 memberikan mandat kepada negara untuk :
Ø Mengadakan kebijakan (beleid)
Ø Mengadakan pengaturan (regelendaad)
Ø Melakukan pengurusan (bestundang-undangrstaad)
Ø Melakukan pengelolaan (beheerstraad)
Ø Melakukan pengawasan toezichthoudensdaad)
Untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat.
Tolak ukur capaian “sebesar-besar
kemakmuran rakyat” adalah :
Ø Kemanfaatan pembangunan untuk kepentingan umum/rakyat
Ø Tingkat pemerataan kemanfaatannya bagi rakyat
Ø Tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat
Ø Penghormatan terhadap hak rakyat
2.
Tinjauan
Sosiologis
Secara sosiologis pembangunan untuk kepentingan umum memerlukan
ketersedian tanah.Tanah yang diperlukan untuk kepentingan umum tersebut pada
umumnya sudah dikuasai oleh orang perorangan, badan hukum, atau oleh masyarakat
hukum adat.
Undang-undang no 2 tahun 2012 disusun sebagai landasan hukum
perolehan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, yang dapat memberikan
keseimbangan antara kepentingan pihak yang memerlukan tanah dan pihak yang
tanahnya diperlukan untuk kepentingan umum.
3.
Tinjauan
Yuridis
Sesuai konsepsi Hukum Tanah Nasional, perolehan tanah untuk
kepentingan umum dibedakan menjadi :
a.
Bila
pihak pemegang ha katas tanah bersedia melepaskan tanahnya secara sukarela
dengan menerima ganti kerugian atas dasar musyawarah, maka cara yang ditempuh
adalah “Pengadaan Tanah”.
b.
Bila
jalan musyawarah tidak mencapai hasil yang diharapkan, pemerintah sesuai dengan
wewenangnya, dapat mengambil dan menguasai tanah yang bersangkutan dengan cara
pencabutan hak atas tanah disertai
pemberian ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan
Undang-undang.
Meskipun negara mengatur hak
penggunaan tanah, negara juga memberi jaminan kepada pengguna tanah.Negara
mengeluarkan sertifikat hak pengelolaan tanah kepada pengguna tanah dan tidak
dapat mengklaim tanah yang dialokasikan ke pengguna. Negara wajib mengeluarkan
kebijakan untuk memfasilitasi langsung produsen dalam pertanian, kehutanan,
perikanan dan tanah garam untuk memiiki lahan untuk produksi; dan juga wajib
mengeluarkan kebijakan untuk insentif investasi, untuk pelatihan kerja dan
pengembangan dan penciptaan lapangan kerja untuk buruh di daerah pedesaan
sesuai dengan proses konversi struktur penggunaan lahan dan komversi dari
Setelah mengkaji dan menganalisis
ketentuan yang tertuang di dalam UU Nomor 2 Tahun 2012 maka dapat dipahami
bahwa UU ini memberikan perlindungan hukum yang jelas kepada para pemegang hak
sebagaimana diatur berikut ini:
1.
Pasal
1 angka (2) menentukan Pengadaan Tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan
cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.
2.
Pasal
5 menentukan pihak yang berhak wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan
Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum setelah pemberian Ganti Kerugian atau
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
3.
Pasal
16 menentukan Instansi yang memerlukan tanah bersama pemerintah provinsi
berdasarkan dokumen perencanaan Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 melaksanakan:
a.
pemberitahuan
rencana pembangunan;
b.
pendataan
awal lokasi rencana pembangunan; dan
c.
Konsultasi
Publik rencana pembangunan.
Menyimak berbagai ketentuan tersebut di atas, bahwa UU No. 2 Tahun
2012 sangat memberikan peluang dan perlindungan hukum dan hak yang sangat besar
kepada para pemegang hak, walaupun pemegang hak diwajibkan untuk menyerahkan
hak atas tanahnya jika tanah tersebut dijadikan obyek pengadaan tanah untuk
pembangunan sarana kepentingan umum.
BAB III
KESIMPULAN
Dari keseluruhan
penjelasan diatas kita dapat menarik beberapa kesimpulan yaitu:
1.
Tanah
untuk kepentingan umum yaitu tanah yang digunakan oleh masyarakat umum dan
dimanfaatkan untuk menjalankan kehidupan.
2.
Dasar
hukum mengenai tanah untuk kepentingan umum diatur dalam UU No 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Kepentingan Umum.
3.
Istilah
ganti rugi adalah pemberian ganti atas kerugiaan yang diderita oleh pemegang
hak atas tanah atas beralihnya haknya tersebut. Ganti rugi disini harus adil
dimana pemilik tanah dan pengadaan tanah yang akan digunakan untuk kepentingan
umum tersebut.
4.
UU
Nomor 2 Tahun 2012 ini memberikan perlindungan hukum yang jelas kepada para
pemegang hak sebagaimana diatur berikut ini:
a.
Pasal
1 angka (2) menentukan Pengadaan Tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan
cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.
b.
Pasal
5 menentukan pihak yang berhak wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan
Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum setelah pemberian Ganti Kerugian atau
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
c.
Pasal
16 menentukan Instansi yang memerlukan tanah bersama pemerintah provinsi
berdasarkan dokumen perencanaan Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 melaksanakan:
1)
pemberitahuan
rencana pembangunan;
2)
pendataan
awal lokasi rencana pembangunan; dan
3)
Konsultasi
Publik rencana pembangunan.
DAFTAR PUSTAKA
Limbong, Bernhard. 2014. Politik Pertanahan. Jakarta :
Margaretha Pustaka.
Ridwan. 2010. Pemilikan
Rakyat dan Negara Atas Tanah. Jakarta : Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar