Rabu, 26 April 2017

Makalah PENDAFTARAN TANAH



PENDAFTARAN TANAH
Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mandiri mata kuliah: Hukum Agraria
 


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Perkembangan pesat yang terjadi dalam pembangunan di Indonesia tidak bisa dilepaskan begitu saja dengan hubungannya akan kepastian pendaftaran tanah. Karena tanah jelas menjadi aspek utama dan penting dalam pembangunan, dimana seluruh kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat memerlukan tanah untuk melakukan kegiatan tersebut.
Pendaftaran tanah untuk pertama kalinya dilakukan untuk tanah-tanah yang belum didaftarkan atau belum pernah disertifikasikan, hal ini sesuai dengan ketentuan PP Nomor 10 Tahun 1961 dan PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Maka untuk menjamain kepastian hukum, maka mendaftarkan hak atas tanah merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Hal ini dilakukan guna menjamin kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah serta pihak lain yang berkepentingan dengan tanah tersebut. Pendaftaran tanah dilakukan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berada di wilayah kabupaten/kota.

B.     Rumusan Masalah
Bertitik tolak pada latar belakang diatas, dapat dijabarkan rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud tentang pengertian pendaftaran tanah?
2.      Apa dasar hukum dari pendaftaran tanah?
3.      Apa saja tujuan dari pendaftaran tanah?
4.      Apa saja objek dari pendaftaran tanah?
5.      Bagaimana sistem pendaftaran tanah?
6.      Bagaimana pelaksanaan pendaftaran tanah dan pendaftaran hak-hak atas tanah?
7.      Apa yang dimaksud dengan pejabat pembuat akta tanah (PPAT)?

C.    Tujuan Penulisan
Tujuan dalam pembahasan makalah ini, berdasarkan rumusan masalah di atas antara lain:
1.      Mengetahui pengertian pendaftaran tanah.
2.      Mengetahui dasar hukum pendaftaran tanah.
3.      Mengetahui tujuan pendaftaran tanah.
4.      Mengetahui objek pendaftaran tanah.
5.      Mengetahui sistem pendaftaran tanah.
6.      Mengetahui pelaksanaan pendaftaran tanah dan pendaftaran hak-hak atas tanah.
7.      Mengetahui Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).


















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pendaftaran Tanah[1]
Pendaftaran berasal dari kata cadastre (inggris), kadaster (belanda), suatu istilah tehnis untuk suatu rekaman (record), menunjukkan kepada luas, nilai, dan kepemilikan (atau lain-lain alas hak) terhadap suatu bidang tanah. Dalam bahasa latin disebut capistrum yang berarti suatu registrasi atau capita atau unit yang diperbuat untuk pajak tanah Romawi (Capotatio Terrens), dalam artian yang tegas cadastre adalah record atau rekaman dari lahan-lahan. Cadastre merupakan alat yang tepat yang memberikan uraian dan identifikasi dari lahan tersebut dan juga sebagai continents recording (rekaman yang berkesinambungan) dari hak-hak atas tanah.
Dahulu pendaftaran tanah disebut “kadaster” yang berasal dari bahasa latin “conpistarium” yang berarti suatu daftar umum mengenai nilai serta sifat dari benda-benda tetap. Selain dapat pula dirumuskan sebagai berikut:
1.      Tugas (fungsi) tertentu yang harus diselenggarakan oleh pemerintah yaitu suatu pembukuan mengenai pemilikan tanah yang diselenggarakan dengan daftar-daftar dan peta-peta yang dibuat dengan mempergunakan ilmu ukur tanah.
2.      Badan (organ) pemerintah yang harus menjalankan tugas tertentu yaitu dengan peta-peta dan daftar-daftar memberikan uraian tentang semua bidang tanah yang terletak dalam suatu wilayah negara.
Ada juga kadaster dengan kekuatan bukti yang dengan peta-peta yang membuktikan batas-batas bidang tanah yang ditetapkan didalamnya sebagai batas yang sah menurut hukum. Suatu kadaster dikatakan mempunyai kekuatan bukti yang tetap apabila dipenuhi 2 (dua) syarat, yaitu:
1.      Batas-batas yang diukur dan dipetakan pada peta-peta kadaster itu adalah batas-batas yang sebenarnya (penetapan batas berdasarkan kontradiktur deliminasi).
2.      Batas-batas yang telah diukur dan dipetakan pada peta-peta kadaster harus dapat ditetapkan kembali di lapangan sesuai dengan keadaannya pada waktu batas-batas itu diukur.
Dalam hukum adat sendiri sebelumnya lembaga pendaftaran tanah ini tidak dikenal, keberadaan lembaga pendaftaran ini dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat yang sudah berubah situasi dan kebutuhannya. Hak-hak atas tanah dibukukan dalam buku tanah dan diterbitkan sebagai tanda bukti pemilikan tanahnya. Pemindahan hak, seperti jual beli, tukar menukar dan hibah yang telah selesai dilakukan, diikuti dengan pendaftarannya di Kantor Pertanahan.
Hal itu dimaksudkan untuk memberikan alat bukti yang lebih kuat dan lebih luas daya pembuktiannya daripada akta PPAT, yang telah membuktikan terjadinya pemindahan hak yang dilakukan. Disebutkan pula dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang dimaksud dengan pendaftaran tanah adalah: rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, yang berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Menurut Pasal 2 pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan asas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka.[2]

B.     Dasar Hukum Pendaftaran Tanah[3]
UUPA memuat dasar-dasar pokok di bidang agraria yang merupakan landasan bagi usaha pembaruan hukum agraria guna dapat memberikan jaminan kepastian hukum bagi masyarakat dalam memanfaatkan fungsi tanah dan hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan akan tanah. Untuk mencapai tujuan telah diatur mengenai pendaftaran tanah dalam Pasal 19 ayat (1), yang berbunyi: untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Indonesia menurut ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah.
Pendaftaran tanah dalam Pasal 19 Undang-undang Pokok Agraria ayat (1) meliputi: 1. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah; 2. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; 3. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat bukti yang kuat.
Untuk memperoleh kepastian hukum mengenai tanah harus diketahui dimana letaknya, bagaimana batas-batasnya, berapa luasnya bangunan dan tanaman apa yang ada diatasnya, status tanahnya, siapa pemegang haknya dan tidak adanya pihak lain.
Selanjutnya sebagimana dikatahui bahwa pendaftaran tanah yang diperintahkan Pasal 19 Undang-undang Pokok Agraria adalah untuk menjamin kepastian hak dan kepastian hukum, yaitu pendaftaran tanah dalam arti pendaftaran hukum atau recht cadastre atas tanah, sedangkan untuk peraturan pelaksananya terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan mendapat pengaturan secara lengkap dan rinci dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997, tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang selanjutnya disebut Peraturan Menteri 3/1997.

C.    Tujuan Pendaftaran Tanah[4]
Tujuan semula dari pada diadakannya pendaftaran tanah ini adalah untuk kepentingan pemungutan pajak akan tetapi kemudian ditujukan juga guna kepastian hak atas tanah. Adanya suatu pendaftaran tanah yang efektif akan memungkinkan barang siapapun untuk dengan mudah membuktikan haknya atas tanah yang dimilikinya dan mengetahui hal-hal yang perlu diketahui mengenai tanah yang dihadapinya.
Dalam praktek sekarang adanya pendaftaran hak atas tanah justru menimbulkan keadaan yang sebaliknya karena dari berbagai akses yang terjadi walaupun haknya sudah didaftarkan dirasakan belum adanya kepastian hak atas tanah karena masih sering terjadinya gugatan dari pihak ketiga yang juga mendalilkan bahwa ia juga berhak atas tanah yang sama, kejadian yang demikian sudah sering terjadi dalam praktek pengadilan dan dapat menimbulkan kesan yang negatif terhadap program pendaftaran tanah itu sendiri. Dan yang lebih parah lagi adalah timbulnya dua atau lebih sertifikat tanah bukti hak atas tanah yang sama, sehingga timbul suatu penilaian bahwa pendaftaran hak atas tanah yang dilaksanakan selama ini tidak menimbulkan kepastian hukum akan tetapi justru yang timbul adalah kekacauan hukum.
Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dijelaskan bahwa tujuan dari pendaftaran tanah tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.
b.      Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.
c.       Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

D.    Objek Pendaftaran Tanah[5]
Pendaftaran tanah adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk mendaftarkan bidang-bidang tanah tertentu, sehingga dari definisi diatas dapat kita ketahui bahwa tanah merupakan objek dari pendaftaran tanah itu sendiri. Ruang lingkup pendaftaran tanah itu sendiri selalu mengenai tanah dalam berbagai macam jenisnya, bentuk tanda buktinya, yang didaftar dan juga penyajiannya dalam bentuk apa. Sehingga keseluruhan dari bentuk tanah tersebut didaftarkan, sehingga dapat diketahui statusnya.
Sedangkan untuk jenis-jenis bidang tanah yang didaftar adalah bidang-bidang tanah:
a)      Tanah hak, yang terdiri dari: Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai yang diberikan oleh Negara, dan Hak Tanggungan
b)      Tanah Negara; pendaftarannya dilakukan dengan cara membukukan bidang tanah yang merupakan tanah Negara dalam bentuk tanah
c)      Tanah hak pengelolaan
d)     Tanah wakaf
e)      Hak milik atas satuan rumah susun.

E.     Sistem Pendaftaran Tanah[6]
Sistem pendaftaran tanah yang digunakan adalah sistem pendaftaran hak (registration of title) sebagaimana yang digunakan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah menurut PP 10/1961. Bukan sistem pendaftaran akta. Hal ini dapat diketahui karena digunakannya buku tanah sebagai dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang dihimpun dan disajikan serta ditertibkannya sertifikat sebagai tanda bukti hak.
Sedangkan dalam pendaftaran hak atas tanah baru, memberikan hipotik kepada kreditur dan memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain, mempergunakan sistem dimana yang didaftar adalah perbuatan-perbuatan hukum tersebut atau disebut juga penyerahan yuridis atau juridis levering. Perbuatan hukum itu dibuat aktanya oleh notaries/PPAT, inilah yang disebut sistem pendaftaran akta (registration of deeds).
Sistem publikasi yang digunakan tetap seperti dalam pendaftaran tanah menurut PP 10/1961. Yaitu sistem negatif yang mengandung unsur positif, karena akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, seperti dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (1) huruf c, Pasal 23 ayat (2), Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 38 ayat (2) UUPA. Bukan sistem publikasi yang murni, sistem publikasi yang murni tidak akan menggunakan sistem pendaftaran hak.
Juga tidak akan ada pernyataan seperti dalam Pasal-pasal UUPA tersebut bahwa sertifikat merupakan alat bukti yang kuat. Sebagaimana yang akan dilihat pada ketentuan-ketentuan yang mengatur prosedur pengumpulan sampai dengan penyajian data fisik dan data yuridis yang diperlukan serta penertiban sertifikat dan pemeliharaannya. Biarpun sistem publikasinya negatif tetapi kegiatan-kegiatan yang bersangkutan dilaksanakan secara seksama, agar data yang disajikan sejauh mungkin dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.
Hak-hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Undang-undang Pokok Agraria didaftar dengan membukukannya dalam buku tanah yang memuat mengenai data yuridis dan data fisik bidang tanah yang bersangkutan sepanjang ada surat ukurnya dicatat pula pada surat ukur tersebut.
Menurut Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menentukan bahwa untuk kepentingan pemegang hak yang bersangkutan, diterbitkan sertifikat sesuai dengan data fisik yang ada dalam surat ukur dan data yuridis yang telah didaftar dalam buku tanah.

F.     Pelaksanaan Pendaftaran Tanah dan Pendaftaran Hak-Hak Atas Tanah[7]
UUPA dan PP No. 10/1961 telah menetapkan dua kewajiban yang harus dilaksanakan. Pertama, Kewajiban bagi pemerintah untuk melaksanakan pendaftaran tanah untuk seluruh wilayah Indonesia. Kewajiban yang dibebaskan kepundak pemerintah adalah meliputi kegiatan: a) Pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah; b) Pendaftaran hak atas tanah dan peralihan hak tersebut; dan c) Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Kedua, kewajiban bagi pemegang hak untuk mendaftarkan hak-hak atas tanah tertentu yang dimilikinya. Menurut Pasal 23, 32, dan 38 hak yang wajib didaftarkan itu adalah hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan akan tetapi dengan Peraturan Menteri Agraria No. 1/1977 diperluas pula dengan hak pakai dan hak pengelolaan.
Dengan pendaftaran tanah maka pemerintah terlebih dahulu harus mengadakan pengukuran secara menyeluruh kemudian mengadakan pemetaan yang lengkap dan membukakan tanah yang ada dikawasan Nusantara ini. Bilamana sudah diadakan pengukuran dan sebagainya tersebut diatas maka barulah dapat diadakan pendaftaran hak-hak atas tanah dalam artian hak-hak apa saja yang ada diatas tanah yang telah diukur dan siapa pemegang haknya terhadap suatu kavling tanah harus dapat ditentukan dengan pasti, untuk keperluan tersebut sudah tentu harus didahului dengan penelitian seksama terhadap tanah yang bersangkutan kalau semuanya ini sudah dapat ditegaskan barulah dapat diberikan tanda bukti hak untuk penegasan bagi pemegang hak tersebut sehingga ia mempunyai suatu kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah.
Apa yang digambarkan dengan pendaftaran yang dimaksud adalah suatu “das sollen” dan memang demikianlah idealnya suatu pendaftaran tanah yang diharapkan dapat memberikan kepastian hukum sebagimana yang dimaksudkan oleh UUPA. Kemudian dengan pendaftaran hak atas tanah yang sekarang diwajibkan kepada setiap pemegang hak, ketentuan perundangan yang berlaku sudah mengatur lebih jauh dan malah sulit untuk dijangkau oleh masyarakat karena penentuan tersebut kurang memperhatikan realita sosial dalam masyarakat Indonesia. Pendaftaran hak atas tanah menjadi suatu kewajiban pada masa sekarang memang masih sulit untuk dilaksanakan mengingat tingkat kesadaran masyarakat yang masih rendah dan juga kelemahan dari pemerintah yang kadang justru mempersulit masyarakat yang ingin mendaftarkan tanahnya sendiri baik dari segi biaya mapun administratif.
Skala prioritas pelaksanaan pembangunan dewasa ini khususnya pembangunan di bidang pertanahan untuk mengadakan penataan kembali penggunaan penguasaan dan pemilikan tanah-tanah yang ada di kawasan negara ini harus perlu diadakan pendaftaran tanah secara menyeluruh dengan memberikan skala prioritas pada daerah tertentu yang sangat memerlukan guna memberikan kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sehubungan dengan ini maka diperlukan adanya suatu landasan hukum yang mantap dan terarah untuk mendukung program pendaftaran tanah yang menyeluruh yang merupakan salah satu kewajiban yang harus oleh pemerintah. Guna keberhasilan program dimaksud pertama diperlukan adanya suatu rencana yang matang dan komitmen yang pasti dari pemerintah yang lebih diarahkan pada pengembangan program dimaksud disamping perlunya perlengkapan sarana baik berupa sarana fisik, personil, organisatoris, financial dan berbagai peralatan yang dihasilkan oleh perkembangan ilmu dan teknologi modern yang dapat memungkinkan terlaksanakannya program-program tanah sebagaimana yang dimaksud.
Ketika belum dapat terlaksananya pendaftaran tanah yang menyeluruh, maka kepada setiap pemegang hak atas tanah juga perlu diwajibkan untuk mendaftarkan hak yang dimilikinya. Untuk mana pemerintah harus memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya dengan biaya yang seminimal mungkin agar supaya masyarakat tidak merasa terlalu sulit untuk melaksanakan kewajiban tersebut dan mempergunakan biaya yang dapat terjangkau olehnya. Disamping itu harus pula diperhatikan bahwa dalam rangka pendaftaran hak atas tanah diperlukan adanya penelitian yang seksama mengenai status hak dan penggunaan tanah yang bersangkutan dan harus dicegah jangan sampai terjadi berbagai kesalahan administratif yang dapat merugikan setiap pemegang hak.
Hal terakhir yang sangat perlu diperhatikan untuk keberhasilan program pendaftaran tanah ini diperlukan sekali adanya suatu kampanye berupa perlu penyuluhan hukum yang sifatnya terpadu yang dilakukan pihak Badan Pertanahan Nasional secara mandiri sehingga masyarakat akan mengerti pentingnya sertifikat Tanah Hak Milik, sehingga perlu dilakukan pendaftaran tanah, dan dengan berlakunya PP No. 24 Tahun 1997 hendaknya pendaftaran tanah di Indonesia bukan diutamakan di daerah perkotaan tetapi pendaftaran hendaknya dilakukan di desa terutama desa tingkat ekonomi lemah, apalagi masyarakat di pedesaan kurang begitu mengerti bagaimana pendaftaran tanah dan pentingnya pendaftaran tanah serta perlu juga diharapkan kesadaran hukum bagi pemerintah atau lembaga yang mengurus pertanahan di Indonesia untuk membantu masyarakat dalam persoalan pendaftaran tanah ini dengan sebaik-baiknya dengan tidak mempersulit baik dari segi biaya dan administratif.

G.    Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)[8]
Dalam Pasal 1 angka 24 disebut PPAT sebagai Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu sebagai yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, yaitu akta pemindahan dan pembebanan hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, dan akta pemberian kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan. Pejabat Umum adalah orang yang diangkat oleh Instansi yang berwenang, dengan tugas melayani masyarakat umum di bidang atau kegiatan tertentu.
Dalam Pasal 7 ditetapkan, bahwa PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala BPN. Untuk mempermudah rakyat di daerah terpencil yang tidak ada PPAT dalam melakukan perbuatan hukum mengenai tanah, dapat ditunjuk PPAT Sementara. Yang dapat ditunjuk sebagai PPAT Sementara itu adalah Pejabat Pemerintah yang menguasai keadaan daerah yang bersangkutan, yaitu Kepala Desa.
Dalam Penjelasan Umum dikemukakan, bahwa akta PPAT merupakan salah satu sumber utama dalam rangka pemeliharaan data pendaftaran tanah. Maka pokok-pokok tugas PPAT serta cara melaksanakannya diatur dalam PP ini. Adapun ketentuan umum mengenai jabatan PPAT diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (LNRI 1998-52; TLN 3746).
Kegiatan PPAT membantu Kepala Kantor Pertanahan dalam melaksanakan tugas di bidang pendaftaran tanah, khususnya dalam kegiatan pemeliharaan data pendaftaran, diatur dalam Pasal 37 s/d 40 (pemindahan hak), Pasal 44 (pembebanan hak), Pasal 51 (pembagian hak bersama), dan Pasal 62 (sanksi administratif jika dalam melaksanakan tugasnya mengabaikan ketentuan-ketentuan yang berlaku).
Dalam UU 4/1996 (Undang-undang Hak Tanggungan) juga terdapat ketentuan mengenai kedudukan dan tugas PPAT serta pelaksanaanya. Dalam Pasal 1 ayat (4) UU tersebut untuk pertama kali PPAT ditegaskan statusnya sebagai Pejabat Umum yang diberi wewenang membuat akta-akta yang disebutkan di atas. Dinyatakan dalam Penjelasan Umum angka 7 UU tersebut, bahwa akta yang dibuat oleh PPAT merupakan akta otentik.
Juga dalam UU 16/1985 tentang Rumah Susun terdapat ketentuan mengenai tugas PPAT sebagai pejabat yang berwenang membuat akta pemindahan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dan akta pembebanan Hak Tanggungan atas Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
Karena kegiatan pendaftaran tanah merupakan kegiatan Tata Usaha Negara, maka sebagai Pejabat yang bertugas khusus di bidang pelaksanaan sebagian kegiatan pendaftaran tanah PPAT adalah Pejabat Tata Usaha Negara.
Ketentuan Pasal 6 ayat (2) bahwa dalam melaksanakan pendaftaran tanah Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT, menimbulkan salah pengertian pada sementara PPAT, seakan-akan dia merupakan pembantu dalam arti bawahan Kepala Kantor Pertanahan. Tugas PPAT membantu Kepala Kantor Pertanahan harus diartikan dalam rangka pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah yang dalam Pasal 6 ayat (1) ditugaskan kepada Kepala Kantor Pertanahan. Dalam melaksanakan tugasnya mendaftar Hak Tanggungan dan memelihara data yuridis yang sudah terkumpul dan disajikan di kantornya, yang disebabkan karena pembebanan dan pemindahan hak di luar lelang, kecuali dalam hal yang khusus sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 37 ayat (2), Kepala Kantor Pertanahan mutlak memerlukan data yang harus disajikan dalam bentuk akta yang hanya boleh dibuat oleh seorang PPAT. Dalam memutus akan membuat atau menolak membuat akta mengenai perbuatan hukum yang akan dilakukan di hadapannya, PPAT mempunyai kedudukan yang mandiri, bukan sebagai pembantu Pejabat lain. Kepala Kantor Pertanahan, bahkan siapapun, tidak berwenang memberikan perintah kepadanya atau melarangnya membuat akta. Seorang PPAT bukan hanya berhak, ia bahkan wajib menolaknya, apabila hal itu akan berakibat melanggar ketentuan yang berlaku, karena pelaksanaan tugas PPAT sudah ada ketentuannya dalam UU 16/1985, UU 4/1996, PP 24/1997 dan peraturan-peraturan Hukum materiil yang bersangkutan. Dalam pengertian itulah ketentuan Pasal 6 ayat (2) tersebut harus diartikan.
Dari apa yang diuraikan dalam uraian-uraian di atas dapat diketahui, bahwa hakikat jabatan PPAT adalah, bahwa:
a.       PPAT adalah pejabat umum yang diberi tugas dan wewenang khusus memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa pembuatan akta yang membuktikan, bahwa telah dilakukan di hadapannya perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah, Hak Milik atas Satuan Rumah Susun atau pemberian Hak Tanggungan atas tanah.
b.      Akta yang dibuatnya adalah akta otentik, yang hanya dialah yang berhak membuatnya.
c.       PPAT adalah Pejabat Tata Usaha Negara, karena tugasnya di bidang penyelenggaraan pendaftaran tanah yang merupakan kegiatan di bidang Eksekutif/Tata Usaha Negara.
d.      Akta PPAT bukan surat keputusan Pejabat Tata Usaha Negara, karena akta adalah relaas, yaitu suatu laporan tertulis dari pembuat akta berupa pernyataan mengenai telah dilakukannya oleh pihak-pihak tertentu suatu perbuatan hukum di hadapannya pada suatu waktu yang disebut dalam akta yang bersangkutan.
e.       Yang merupakan Keputusan PPAT sebagai Pejabat Tata Usaha Negara adalah keputusan menolak atau mengabulkan permohonan pihak-pihak yang datang kepadanya untuk dibuatkan di hadapannya. Memberi keputusan menolak atau mengabulkan permohonan tersebut merupakan kewajiban PPAT. Dalam hal syaratnya dipenuhi wajib ia mengabulkan permohonannya. Sebaliknya dalam hal ada syarat yang tidak dipenuhi ia wajib menolaknya.



BAB III
KESIMPULAN
Dari keseluruhan penjelasan diatas kita dapat menarik beberapa kesimpulan yaitu:
1.      Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, yang berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
2.      Dasar hukum pendaftaran tanah diatur dalam Pasal 19 Undang-undang Pokok Agraria, sedangkan untuk peraturan pelaksananya terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan mendapat pengaturan secara lengkap dan rinci dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997, tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang selanjutnya disebut Peraturan Menteri 3/1997.
3.      Tujuan pendaftaran tanah dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dijelaskan bahwa tujuan dari pendaftaran tanah adalah sebagai berikut:
a.       Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.
b.      Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.
c.       Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
4.      Objek pendaftaran tanah adalah tanah. Sedangkan untuk jenis-jenis bidang tanah yang didaftar adalah bidang-bidang tanah:
a.       Tanah hak, yang terdiri dari: Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai yang diberikan oleh Negara, dan Hak Tanggungan
b.      Tanah Negara; pendaftarannya dilakukan dengan cara membukukan bidang tanah yang merupakan tanah Negara dalam bentuk tanah
c.       Tanah hak pengelolaan
d.      Tanah wakaf
e.       Hak milik atas satuan rumah susun.
5.      Sistem pendaftaran tanah yang digunakan adalah sistem pendaftaran hak (registration of title) sebagaimana yang digunakan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah menurut PP 10/1961.
6.      UUPA dan PP No. 10/1961 telah menetapkan dua kewajiban yang harus dilaksanakan. Pertama, Kewajiban bagi pemerintah untuk melaksanakan pendaftaran tanah untuk seluruh wilayah Indonesia. Kedua, kewajiban bagi pemegang hak untuk mendaftarkan hak-hak atas tanah tertentu yang dimilikinya.
7.      PPAT adalah pejabat umum yang diberi tugas dan wewenang khusus memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa pembuatan akta yang membuktikan, bahwa telah dilakukan di hadapannya perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah, Hak Milik atas Satuan Rumah Susun atau pemberian Hak Tanggungan atas tanah.


DAFTAR PUSTAKA
Harsono, Boedi. 2008. Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Limbong, Bernhard. 2014. Politik Pertanahan. Jakarta : Margaretha Pustaka.
UU Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.




[1] Limbong, Bernhard. 2014. Politik Pertanahan. Jakarta : Margaretha Pustaka, hlm 392-393.
[2] Harsono, Boedi. 2008. Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Djambatan, hlm 471.
[3] Limbong, Bernhard. 2014. Politik Pertanahan. Jakarta : Margaretha Pustaka, hlm 393-394.
[4] Limbong, Bernhard. 2014. Politik Pertanahan. Jakarta : Margaretha Pustaka, hlm 394-395.
[5] Limbong, Bernhard. 2014. Politik Pertanahan. Jakarta : Margaretha Pustaka, hlm 395-396.
[6] Limbong, Bernhard. 2014. Politik Pertanahan. Jakarta : Margaretha Pustaka, hlm 396-397.
[7] Limbong, Bernhard. 2014. Politik Pertanahan. Jakarta : Margaretha Pustaka, hlm 398-340.
[8] Harsono, Boedi. 2008. Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Djambatan, hlm 483-486.